![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/30101313831220881987110724-680x510.jpg)
ASEAN Economic Community (AEC) akan segera diberlakukan pada 2015 mendatang. Implementasi AEC memberikan akses bebas terhadap modal dan tenga kerja di kawasan ASEN. Kendati begitu, masih terdapat sejumlah hambatan dalam implementasi pasar bebas ASEAN tersebut, tak terkecuali dalam dunia perbankan.
“Masih ada hambatan birokrasi untuk masuk seperti persayaratan modal yang ketat dan kriteria yang tidak jelas dalam lisensi perbankan,” kata Direktur Utama Bank Mandiri, Budi G.Sadikin, Rabu (30/10) dalam CEO Talk di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.
Budi menyebutkan sejumlah negara juga menerapkan peraturan dan standar berbeda untuk bank asing. Ia mencontohkan Singapura memungkinkan 100 persen kepemilikan asing, tetapi mereka mengatur persyaratan modal yang tinggi yakni SGD 1,5 miliar bagi bank asing yang ingin membuka kantor cabang penuh.
“Di Singapura kebutuhan modalnya empat kali lebih besar di Indonesia,” ungkapnya.
Demikian halnya dalam hal regulasi, Budi mengatakan bahwa masih terdapat perbedaan dalam bisnis perbankan dan jasa. Total aset rata-rata di ASEAN berbeda-beda seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand sebesar USD 10-14 miliar, sementara anggota lain kurang dari USD 3 miliar.
Menghadapai kenyataan tersebut dikatakan Budi penting untuk menerapkan asas resiprokal terhadap kepemilikan dan lisensi asing berdasar prinsip saling menguntungkan . Selain itu persyaratan masukd an regulasi perijinan bank seyogianya diterapkan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan negara-negara ASEAN.
Ditambahkan Budi, persoalan kesenjangan dalam kemampuan finansial , stabilitas keuangan, dan belum adanya kriteria yang jelas terhadap kualifikasi bank ASEAN (QAB) juga turut menjadi penghambat dalam penerapan AEC 2015. Karenanya dibutuhkan kerjasama antar negara ASEAN untuk saling menyelaraskan natara proteksi yang dilakukan di dalam negeri dengan integrasi di regional untuk bank di luar QAB, dibentuknya farmework mengenai peraturan dalam program aliansi, serta mendukung pembangunan sektor keuangan di Brunei, Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam yang masih relatif lambat.
“Aliansi dilakukan dengan menekankan prinsip kesetaraan diantara negara anggota dengan mempertimbangkan keunggulan setiap negar anggota. Penajaman strategi aliansi ini ditujukan meminimalisir risiko integrasi finansial,” jelasnya (Humas UGM/Ika).