Pengalaman Indonesia dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi kesehatan selama tahun 2000-2007 bila direfleksikan adalah serupa suatu proses yang berjalan secara mendadak. Kebijakan desentralisasi berjalan setengah hati akibat tekanan politik. Secara teknis, para pelaku sektor kesehatan belum siap untuk melakukannya.
Menurut peneliti manajemen kesehatan, Prof. Laksono Trisnantoro, desentralisasi setengah hati ini sebagai akibat dari Departemen Kesehatan (Depkes) yang masih menginginkan sentralisasi. Hal itu tercermin dalam kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Depkes. “Namun, yang terjadi justru dana untuk santunan dari pusat itu tidak mencukupi, mau tidak mau harus sinergi dengan daerah,” ujarnya di Balai Senat UGM, Selasa (3/11), usai acara bedah buku ‘Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia Tahun 2000-2007’.
Bedah buku yang digelar oleh Majelis Guru Besar UGM ini dihadiri para guru besar, mahasiswa, peneliti lintas bidang dan pengamat kesehatan. Di samping Prof. Laksono Trisnantoro, yang juga selaku editor buku, hadir pula Prof. Dr. Warsito Utomo sebagai pembahas dan Prof. Drs. Muhadjir Darwin, M.P.A., Ph.D. sebagai moderator.
Dari diskusi buku itu mengemuka kemungkinan dilakukan peninjauan ulang bagi masyarakat penerima Jamkesmas. Peninjauan ulang terutama bagi para penerima Jamkesmas yang memiliki kemampuan untuk mengonsumsi rokok, yang notabene justru mendatangkan penyakit. Oleh karena itu, diperlukan sanksi bagi mereka agar tidak merokok karena penyakit akibat rokok menjadi beban negara.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan logis atau tidak jika penerima Jamkesmas diberi sanksi seperti itu. Jangan sampai terjadi, jaminan kesehatan diberikan, tetapi penerimanya tidak memikirkan kesehatannya. Uang yang digunakan membeli rokok dapat dialihkan untuk kepentingan yang lebih sehat dan tidak merugikan diri sendiri ataupun negara yang mengeluarkan dana untuk jaminan kesehatan. (Humas UGM)