![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2013/11/0111131383279611647814797-680x510.jpg)
Hunian suku Dayak Bukit adalah sebuah entitas arsitektur yang berfungsi sebagai tempat tinggal bagi sekelompok keluarga inti yang masih memiliki ikatan kekerabatan. Dalam setiap hunian selalu terdapat sebuah balai-adat yang berfungsi sebagai wadah (tempat tinggal) dan sebuah kekerabatan yang menyatukan penghuninya dan menjadikan balai-adat sebagai sebuah hunian.
“Balai-adat dan bubuhan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan antara wadah dan isinya,”papar Bani Noor Muchamad pada ujian promosi doktor Program Pascasarjana Fakultas Teknik UGM, Jumat (1/11) di KPTU FT UGM.
Pada ujian ini Bani mempertahankan disertasinya yang berjudul Arsitektur Hunian Suku Dayak Bukit (kajian atas perubahan dan keragaman dengan pendekatan etnografi) dengan tim promotor Prof. Ir. Tony Atyanto Dharoko, M.Phil., Ph.D., Dr.Ir. Arya Ronald., dan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil.
Bani menambahkan balai-adat selalu memiliki sebuah ruang inti yang menjadi pusat kegiatan, pengikat dan orientasi ruang-ruang, serta pemersatu segenap penghuninya. Dalam skala hunian yang lebih luas (skala kampung), balai-adatlah yang menjadi inti permukiman. Ruang inti selalu dipertahankan sementara ruang-ruang lain dapat berkembang (tumbuh) dengan berorientasi pada ruang inti yang ada.
“Adapun bubuhan adalah ikatan kekerabatan diantara keluarga-keluarga inti yang menghuni balai-adat. Bubuhan inilah yang menjadi pengikat sekaligus simbol eksistensi tiap kelompok masyarakat suku Dayak Bukit,”papar staf pengajar pada Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat itu.
Menurut Bani kedua konsep (balai adat dan bubuhan) saling berkaitan, melengkapi, dan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Meskipun demikian, secara hierarkis kedua konsep tersebut memiliki kedudukan yang berbeda. Dilihat dari arasnya, konsep bubuhan berada lebih tinggi kedudukannya. Hal ini disebabkan terbentuk dari fenomena-fenomena empiri yang bersifat abstrak dan menyangkut nilai-nilai, norma, aturan, adat, tradisi, dan budaya yang berada dalam-diri (pikiran dan tindakan) masyarakat.
“Kalau konsep balai-adat terbentuk dari fenomena fisik arsitektural dan pembentuk konsep balai-adat terikat pada ruang (hunian dan masyarakat),”urai Bani.
Penelitian yang mengambil lokasi suku Dayak Bukit di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimantan Selatan tersebut dilatarbelakangi fenomena yang terjadi pada hunian suku Dayak Bukit. Dahulu, hunian suku Dayak Bukit adalah balai-adat yang dibangun berpindah-pindah mengikuti lokasi ladang tiap kelompok. Namun, dalam perkembangannya terjadi perubahan termasuk arsitektur hunian (balai-adat) mereka, baik pada ruang dan bentuknya (Humas UGM/Satria AN)