![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2013/11/04111313835513351475466397-466x510.jpg)
Peluang pemimpin dari daerah untuk menjadi pemimpin nasional sangat terbuka. Terutama bagi figur yang sudah mendapat pengakuan dari publik untuk menjadi pemimpin nasional, hendaknya harus memiliki cara berpikir yang benar dalam konteks nasional maupun daerah dan memiliki keberanian maupun wawasan yang komprehensif untuk memajukan daerah.
“Tokoh dari daerah merupakan alternatif di tengah krisis kepemimpinan nasional. Tampilnya pemimpin yang terseleksi dari daerah kini sudah menjadi tren publik,”kata Bupati Ende, Drs. Don Bosco M. Wangge, M.Si pada Seminar Nasional dan Reuni Akbar Keluarga Alumni MAP UGM “Menggagas Kepemimpinan Nasional Dari Rahim Daerah” di UC UGM, Rabu (6/11).
Wangge menyebutkan pemimpin daerah yang bisa memberi bukti nyata kepada masyarakat dengan kerja kerasnya, seperti Gubernur DKI Joko Widodo. Joko Widodo yang sukses memimpin Kota Solo serta DKI Jakarta mendapatkan simpati publik karena memiliki gaya kepemimpinan yang otentik.
“Dengan gaya blusukannya Jokowi membawa manfaat dengan kebijakan yang dibuat. Ini karakter pemimpin masa depan Indonesia yang mengedepankan moral dan komunikasi dengan masyarakat,”katanya.
Senada dengan itu Bupati Sorong, Dr. Drs. Stevanus Malak, M.Si menilai tokoh-tokoh dari daerah merupakan alternatif di tengah krisis kepemimpinan nasional. Sementara tokoh atau figur yang ditampilkan partai politik sampai saat ini adalah mereka yang tampil sejak reformasi tetapi dinilai tidak memberikan perubahan signifikan.
“Sejak era kemerdekaan, Bung Karno selalu mencari pemimpin-pemimpin di forum nasional dari daerah untuk mendampinginya.
Sayangnya, saat ini belum banyak pemimpin daerah yang benar-benar mumpuni. Sebagian besar sosoknya dikenal publik karena dipoles oleh media. Sedangkan tokoh yang dibutuhkan saat ini adalah mereka yang sudah selesai dengan berbagai persoalan.
Sementara itu Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Dr. Kuskridho Ambardi berpendapat apa yang selama ini disebut sebagai krisis kepemimpinan lebih cocok disebut sebagai problem mismatch antara sisi penawaran dan sisi permintaan kepemimpinan politik. Meskipun demikian, untuk memperluas kemungkinan munculnya pemimpin alternatif dan memperbesar peluang tampilnya kepala-kepala daerah berprestasi di panggung nasional, revisi atas aturan main bisa dijadikan salah satu kemungkinan perbaikan.
“Pembukaan jalur independen yang diterapkan di tingkat daerah bisa dipertimbangkan. UU pilpres atau parpol perlu didorong agar terbangun sistem karir politik yang mapan sehingga potensi kepemimpinan daerah bisa dapat jalur promosi ke panggung nasional,”kata Kuskridho (Humas UGM/Satria AN)