![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2013/11/19111313848419161134534398-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada kembali mewisuda 1.514 lulusan sarjana. Lama studi rata-rata 4 tahun 8 bulan. Waktu studi tersingkat diraih Syahri Ramadhan Siregar dari prodi Sastra Arab FIB yang lulus dalam waktu 3 tahun 1 bulan. Lulusan sarjana termuda kali ini diraih Nurul Azizah dari jurusan prodi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, yang menjadi sarjana pada usia 20 tahun 4 bulan. Sedangkan peraih predikat cumlaude sebanyak 353 atau 23,4 % dari total lulusan sarjana yang diwisuda. Adapun IPK tertinggi diraih Diah Pratiwi dari prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, yang lulus dengan IPK 4,0.
Rektor UGM Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., dalam pidato sambutannya memberikan ucapan selamat kepada para wisudawan yang berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana. “Atas nama keluarga besar UGM, kepada wisudawan dan para orang tua dan wali, saya sampaikan ucapan selamat,” kata Pratikno dalam acara wisuda program sarjana yang berlangsung di Grha Sabha Pramana, Selasa (19/11).
Dihadapan ribuan para wisudawan, Pratikno menegaskan agar mereka selalu meningkatkan kemampuan daya saing dalam menghadapi kompetisi di era globalisasi. Pasalnya globalisasi telah memasuki semua sektor kehidupan secara massif. Globalisasi menurut Pratikno bukan hal baru bagi Indonesia karena sudah ratusan tahun lalu nusantara ini terbuka dengan perdagangan internasional dengan masuknya para pedagang dan pembeli rempah-rempah dari belahan dunia timur dan barat. “Tapi globalisasi yang saat ini mencapai titik yang massif. Apa yang ada di dekat kita sudah global,” imbuhnya.
Dari sisi kemampuan penguasaan riset dan teknologi canggih, posisi Indonesia masih kalah jauh dibanding negara maju, namun kemampuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandiri jauh lebih penting. “Mengharapkan negara maju dan perusahaan multinasional membagi-bagikan teknologi canggih mereka adalah sesuatu yang sia-sia. Kalo pun teknologi canggih itu di bawa ke negara dunia ketiga, itu adalah teknologi fase keempat yang tidak lagi efisien yang mengalami titik jenuh,” ujarnya.
Mata rantai perdagangan dunia bisa dimanfaatkan untuk bisa ikut dalam kompetisi global. Tapi untuk bisa masuk ke rantai perdagangan dunia tersebut, tentu saja membutuhkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni serta keterjangkauan pasar. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu membuat kebijakan yang melindungi warganya, para buruh diharuskan bersinergi dengan pengusaha dalam membangun kemampuan daya saing. Sementara perguruan tinggi bersama peneliti lain terus membangun pengembangan iptek yang kompetitif. Dengan cara itu, Indonesia punya peluang untuk bisa bersaing di tingkat global. “Kemampuan menemukan inovasi baru agar bisa memberikan nilai lebih bagi ilmu pengetahuan dan teknologi tentu harus didukung oleh pelaku bisnis, buruh dan pemerintah,” katanya.
Sepuluh tahun ke depan menjadi momentum bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara yang bisa keluar dari perangkap negara berpenghasilan menengah ke bawah dengan harapan bisa menjadi negara maju. “Hanya sedikit negara yang bisa keluar dari perangkap itu,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)