Bunyi-bunyian pancagita selalu dijumpai dalam berbagai penyelenggaraan upacara keagamaan Hindhu. Demikian halnya dalam upacara odalan yang digelar umat Hindhu di Karangasem, Bali. Bahkan disajikan dalam sejumlah persitiwa sekuler seperti festival seni pertunujukan dan konser karawitan.
“Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada ketidakjelasan tentang ciri-ciri penggunaan antara bunyi-bunyian ritual odalan dengan bunyi-bunyian bukan ritual odalan,” kata I Wayan Senen, S.ST., M.Hum., saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Rabu (20/11) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Menurut staf pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini, fenomena tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat Hindu di Bali belum mengetahui dan belum memahami makna bunyi-bunyian pancagita sebagai salah satu aspek upacara odalan. Pancagita merupakan lima jenis bunyi-bunyian ritual odalan yang terdiri dari mantra, genta, kulkul, tembang, dan tetabuhan.
Dalam disertasi berjudul Bunyi-bunyian Pancagita Dalam Upacara Odalan di Kabupaten Karangasem Bali, ia menuturkan bahwa opacara odalan merupakan peristiwa ritual, sosial, dan teatrikal yang maknanya dikelompokkan dalam makna ritual, makna sosial, dan makna estetika. Makna ritual dalam bunyi-bunyian pancagita adalah efek bunyi-bunyian yang terkait dengan rasa keagamaan yang sakral, keramat, religius, dan magis. Misalnya makna pencerahan pada mantra gayatri, makna pengembalian dalam penyajian kulkul sebagai pengiring upacara nyineb, dan makna kesucian dalam gamelan balaganjur sebagai pengiring upacara masucian.
Sementara makna sosial, lanjutnya dapat dilihat diantaranya pada mantra sapta werdhi yang bermakna penurunan tujuh kebaikan, makna penjernihan pikir pada bunyi genta, dan makna solidaritas dalam penyajian tembang berkelompok yang disajikan juru tembang berpakaian seragam pasantian. Sedangkan makna estetik terlihat pada penyajian mantra ngabyang segehan, makna kenikmatan pada bunyi genta, dan makna keindahan alam pada penyajian kidung kawitan wargasari.
“Bunyi-bunyian pancagita dalam upacara odalan merupakan aktualisasi dari rasa hormat pemuja kepada yang dipuja, rasa satu antara sesama manusia, dan rasa indah para pelaku dan penikmat bunyi-bunyian itu,” jelas pria kelahiran Rendang, Karangasem, Bali 63 tahun silam ini.
Ditambahkannya, berbagai bunyi-bunyian sebenarnya dapat dipakai sebagai bunyi-bunyian ritual odalan. Namun penggunaannya harus disesuaikan dengan salah satu atau beberapa ciri penggunaan bunyi-bunyian ritual odalan.
Sementara terkait dengan kemeriahan suasana penyajian pancagita dalam upacara odalan, I Wayan Senen menuturkan bahwa suasana ramai dan meriah menunjukkan bahwa jalan kerja (karma marga) yang ramai dan meriah menuju tuhan . Hal tersebut dipandang masih relevan dengan jiwa masyarakat saat ini sehingga selalu muncul suasana meriah dalam setiap perhelatan upacara odalan. (Humas UGM/Ika)