![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2013/11/2711131385526288983460465-680x510.jpg)
YOGYAKARTA – Untuk mendorong generasi muda menguasai iptek bidang energi baru dan terbarukan, UGM bekerjasama dengan Kemdikbud dan Pemkab Bantul menggelar kompetisi Kincir Angin Indonesia (KKAI). Perlombaan dilaksanakan pada 1- 4 Desember 2013 di Pantai Baru, Bantul.
Ketua Panitia KKAI, Dr. Senawi mengatakan dari 60 proposal yang masuk, setelah diseleksi, sebanyak 31 tim yang berasal dari 31 PT yang dinyatakan lolos. Lomba yang diperuntukan bagi mahasiswa D3, S1, atau S2 ini setidaknya diikuti beberapa perguruan tinggi, 26 PT dari jawa, sisanya 5 PT dari luar Jawa. Tim dari PT seperti UGM, UI, ITB, IPB, ITS, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dan Politeknik Negeri Batam mengikuti kompetisi ini. “Setiap tim, beranggotakan maksimal lima orang mahasiswa dan satu dosen pembimbing,” kata Senawi kepada wartawan, Kamis (28/11).
Menurut Senawi penyelenggaran kompetisi kincir angin ini diharapkan mampu menggali ide inovatif mahasiswa dalam mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin yang nantinya bisa diterapkan di pulau-pulau terpencil di seluruh Indonesia. “Perairan pantai kita sangat luas dengan potensi angin yang sangat besar. Hasil inovasi mereka ini semoga bisa diaplikasikan di daerah terpencil yang belum dapat listrik,” katanya.
Kendati mengakui beberapa hasil inovasi kincir angin buatan mahasiswa belum sepenuhnya bisa diaplikasikan langsung di masyarakat, imbuhnya, namun ide kreatif dan inovasi mahasiswa tersebut makin mendorong mahasiswa dan peneliti perguruan tinggi untuk terus berkarya dan berinovasi.
Ir. Heru Santoso, M.Eng., Ph.D., salah satu anggota tim juri sekaligus peneliti kincir angin dari jurusan Teknik Mesin dan Industri UGM mengatakan kecepatan angin di perairan Indonesia berkisar 5-6 meter per detik. Berbeda dengan daerah sub tropis yang memilii rata-rata 8-12 meter per detik. Salah satu solusi agar energi listrik dari pembangkit listrik tenaga kincir angin bisa dimanfaatkan oleh masyarakat adalah dengan cara memperbanyak pembangkit listrik kincir angin agar mampu mengakumulasi energi listrik yang dihasilkan. “Energi listrik yang dihasilkan itu berbanding lurus pangkat tiga dari kecepatan angin,” imbuhnya.
Dari kompetisi lincir angin yang diadakan UGM tahun lalu, kata Heru meneruskan, energi listrik paling besar yang dihasilkan kincir angin buatan mahasiswa mencapai 300 watt jam. “Jumlah ini juga tentu belum stabil dengan kecepatan angin yang berubah dari waktu ke waktu,” katanya.
Di kompetisi kali ini, kata heru, tiap peserta membuat satu set lengkap sistem turbin angin yang terdiri atas generator, blade (sudu), kontrol, sistem akuisisi data dan Tower. Tidak hanya aspek desain kincir saja yang dinilai namun juga kemampuan kincir dalam menyesuaikan kecepatan angin dalam menghasilkan energi listrik. “Prinsipnya, akumulasi jumlah energi yang diperoleh selama perlombaan,” katanya.
Untuk mengetahui jumlah energi listrik yang dihasilkan, setiap tim diberikan perangkat data logger dari panitia. Data logger harus dipasang pada sistem pembangkit listrik tenaga angin milik tim untuk kepentingan penilaian oleh juri. Data logger ini diberikan kepada setiap tim pada saat sebelum pendirian sistem. Para pemenang kompetisi ditentukan berdasarkan pada jumlah energi efektif tertinggi, desain turbin, desain generator, desain pengendali dan desain tower. (Humas UGM/Gusti Grehenson)