Pengembangan program transmigrasi sebaiknya ditempatkan dengan basis ekonomi dengan paradigma kewilayahan secara global. Pembangunan di luar Jawa, seperti melalui transmigrasi, tidak bisa hanya mengandalkan pada belanja langsung pemerintah yang cukup banyak. Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc menegaskan salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk mencapai hal tersebut, yaitu melalui sinergi dan pembangunan infrastruktur di bidang ekonomi, politik hingga budaya.
“Tidak bisa hanya mengandalkan tenaga kerja saja tapi juga efisiensi infrastruktur khususnya di wilayah Indonesia bagian timur,”kata Pratikno pada Seminar Ketransmigrasian “Revitalisasi Transmigrasi Indonesia” di Hotel Sheraton Mustika, Kamis (28/11).
Pratikno menambahkan pembangunan wilayah di luar Jawa tidak bisa hanya mengandalkan pada tenaga kerja maupun belanja langsung pemerintah, baik dalam bentuk subsidi dan bagi hasil pajak serta non pajak. Harus ada sinergi dan efisiensi infrastruktur kelembagaan sehingga mampu membuat masyarakat di luar Jawa berkompetisi di pasar global.
“Kompetisi di pasar global dalam arti bukan hanya persaingan dengan negara lain tetapi juga di dalam negeri,”paparnya.
Pada kesempatan itu Pratikno juga mengusulkan adanya kebijakan yang radikal dalam mengubah paradigma pembangunan transmigrasi. Salah satunya mengintegrasikan transmigrasi dengan bidang lain yang berhubungan dengan kewilayahan seperti Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal atau Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Sementara itu pakar pembangunan wilayah perdesaan Fakultas Geografi UGM, Prof. Dr. Rijanta, M.Sc mengatakan orientasi transmigrasi ke depan, yaitu pencapaian kesejahteraan masyarakat transmigran yang lebih tinggi daripada daerah asal dan dalam waktu yang lebih cepat. Orientasi kualitas juga lebih dikedepankan daripada orientasi kuantitas transmigran. Terkait kelembagaan, urusan ketransmigrasian beserta tantangannya sangat besar dan kompleks, sehingga kurang memadai jika diurus pada institusi selevel direktorat jenderal.
“Nama baru transmigrasi mungkin perlu dibuat untuk generasi baru pelaku perpindahan. Kita lihat misalnya Bung Karno menyebut istilah alih setra untuk transmigrasi,”papar Rijanta yang juga Dekan Fakultas Geografi itu.
Guru Besar Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A., menjelaskan bahwa transformasi kelembagaan untuk membangun Indonesia melalui koreksi terhadap gejala ‘dislokasi penduduk’ sangat diperlukan. Hanya saja, karena pemaknaan ‘dislokasi’ ini adalah bagian dari imajinasi cara kita membangun (mensejahterakan seluruh rakyat) Indonesia, maka koreksi tersebut tidak bisa hanya terpaku kerangka ‘pependudukan’.
“Kerangkanya adalah pembangunan ekonomi, melalui proses transformasi yang rumit, yang jangkauannya harus lebih luas dari kewenangan Kemenakertrans,”tegas Purwo.
Dirjen P2MKT, Ir. Roosari Tyas Wardani, MMA mengakui masih ada sejumlah kendala untuk memajukan transmigrasi. Salah satunya adalah penguatan kelembagaan. Namun demikian Tyas menilai transmigrasi tetap memberikan andil dalam mengatasi persoalan kemiskinan, ketahanan pangan hingga kesenjangan kesejahteraan antar daerah di Indonesia (Humas UGM/Satria AN)