YOGYAKARTA – Diperkirakan lebih dari 200 penyakit zoonosis (infeksi penyakit hewan ke manusia) dan 25 penyakit hewan menular strategis baru yang dianggap mengancam kesehatan masyarakat ditemukan di Indonesia. Beberapa diantaranya, rabies, avian influenza, anthrax, leptospirosis, hingga toxoplasmosis. Namun demikian, penyampaian informasi mengenai kejadian penyebaran dan penularan wabah penyakit dari hewan ke manusia belum sepenuhnya disampaikan pada masyarakat. Ha; itu dilakukan dengan alasan adanya kepentingan politik masing kepala daerah dan lemahnya pengambilan kewenangan veteriner secara kelembagaan. “Belum semua informasi zoonosis disampaikan kepada masyarakat, karena panjangnya birokrasi dalam penyampaian informasi veteriner ini,” kata Dekan FKH UGM, Dr. drh. Joko Prastowo dalam Diskusi Kajian Otoritas Veteriner di Indonesia, Rabu (4/12).
Joko menilai informasi mengenai kejadian penyakit zoonosis di suatu daerah selama ini terhenti di pengambil kebijakan, padahal informasi itu sangat diperlukan bagi masyarakat untuk mencegah risiko terjadinya penularan.
Menurut Joko, lembaga Otoritas Veteriner merupakan salah satu upaya untuk menjembatani ketatnya penyampaian informasi veteriner pada masyarakat. Bahkan, lembaga ini pula yang bertugas menentukan penetapan wabah penyakit hewan menular serta pengambil kebijakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular. Selain itu, badan inilah yang berperan mengatur masuk dan keluarnya hewan dan produk hewan lintas daerah maupun lintas negara.
Keberadaan Otoritas Veteriner di Indonesia, menurut Joko sudah seharusnya segera dibentuk dengan disahkannya UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. “Sampai saat ini Peraturan Pemerintah terus dibahas,” imbuhnya.
Terkait dengan informasi penyakit menular, Joko mencontohkan di Provinsi DIY misalnya, baru-baru ini ditemukan 3 ekor dari 200 ekor anjing yang diperiksa, ditetapkan positif terkena rabies. Padahal, DIY ditetapkan sebagai daerah bebas rabies. Menurutnya, informasi semacam ini seharusnya segera dilakjukan pengendalian. “Problem bebas rabies cukup dilematis. Karena banyak anjing yang didatangkan dari luar daerah yang masuk ke DIY. Bila tidak dikontrol, sangat berisiko,” katanya.
Kepala Subdit Kelembagaan, Direktorat Kesehatan Hewan, Drh. Krisnandana mengatakan salah satu negara yang telah berhasil menerapkan otoritas veteriner adalah Australia. Keberdaan lembaga ini dinilaianya sangat efektif dalam menangulangai wabah penyakit hewan menular. Kejadian wabah zoonosis luar biasa dapat segera dikendalikan yang melibatkan semua lintas profesi, dokter hewan hingga polisi dan tentara. “Begitu ada informasi, mitigasi penyakit berbahaya segera dilakukan. Otoritas veteriner ini pula yang berhak menghentikan perpindahan ternak di suatu daerah yang dianggap jadi sumber wabah,” katanya.
Sementara di Indonesia, lebih jauh dia menjelaskan, informasi dan pengambilan kewenangan kebijakan di bidang veteriner terkendala dengan panjangnya jalur birokrasi yang mesti harus dilalui. (Humas UGM/Gusti Grehenson)