Frekuensi kejadian tsunami di Indonesia relatif meningkat dalam dasa warsa terakhir ini. Semakin tinggi frekuensi dan bertambahnya kepadatan penduduk di daerah pantai mengakibatkan meningkatnya kerentanan Indonesia terhadap bencana tsunami. Tsunami tidak hanya menimbulkan korban jiwa yang banyak tetapi juga mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur yang berada di sepanjang pantai.
“Kerusakan infrastruktur ini bisa disebabkan karena karakter tsunami, karakteristik bangunan, besar gaya tsunami, kondisi lingkungan, hingga bangunan di sepanjang pantai yang berfungsi sebagai pelindung,” papar Any Nurhasanah pada ujian terbuka program doktor Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, Jumat (10/1).
Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mempelajari gaya tsunami pada bangunan tanpa pelindung dan bangunan berpelindung. Besarnya gaya tsunami menurut Any dipengaruhi oleh karakteristik dari tsunami tersebut, seperti tinggi gelombang dan kecepatan gelombang. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi besarnya gaya yang diterima bangunan adalah pori bangunan dan tembok laut yang berada di depan bangunan.
“Tembok laut di muka bangunan merupakan hambatan dalam aliran sehingga berpengaruh pada gaya tsunami yang diterima bangunan,” jelas dosen di Fakultas Teknik Universitas Bandar Lampung itu.
Dalam disertasinya yang berjudul Interaksi Bangunan di Wilayah Pesisir dengan Gelombang Tsunami itu Any berharap penelitiannya dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, disertasinya diharapkan dapat menjadi masukan untuk melengkapi penelitian mengenai kajian gaya tsunami pada bangunan akibat adanya tembok laut dan dapat menjadi acuan untuk penataan kawasan pesisir di daerah rawan tsunami.
Sementara itu aplikasi hasil penelitian yang dilakukan Any dilakukan melalui gaya pada bangunan panggung serta gaya pada bangunan di belakang tembok laut. Perhitungan gaya tsunami pada bangunan panggung dilakukan melalui prosedur perhitungan gaya pada bangunan panggung. Jika tinggi elevasi bangunan 3 meter, tinggi dari lantai rumah ke atap 3 meter, sehingga bisa diprediksi besarnya gaya tsunami yang terjadi pada bangunan itu.
“Untuk gaya bangunan di belakang tembok laut bisa dilihat pada kasus Desa Taro di pesisir Jepang dengan tembok laut 10 meter tapi sempat terkena tsunami setinggi 12 meter,” katanya.
Any mengatakan bahwa penelitian eksperimental dilakukannya di Laboratorium Hidrolika dan Hidrologi Pusat Studi Ilmu Teknik UGM. Ia menegaskan melalui penelitiannya itu tembok laut yang dibangun di wilayah pesisir diharapkan dapat melindungi bangunan yang berada di belakangnya dari serangan tsunami. “Tinggi tsunami tergantung dari tinggi dan kecepatan tsunami. Sedangkan bangunan panggung dapat dianggap sebagai bangunan yang memiliki pori,” tegasnya (Humas UGM/Satria)