![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/01/1601141389853174759916259-680x510.jpg)
Bagas merupakan bahan bakar utama yang digunakan pada industri gula tebu di dunia. Satu ton bagas dengan air 50% menghasilkan energi setara dengan 1.6 barel minyak bakar. Bagas tebu ini dapat menghasilkan sekitar 19, MJ/kg tergantung iklim, jenis tanah tempat tebu dibudidayakan, klon tebu, metode pemanenan, dan cara pemerahan nira.
“Bagas merupakan sumber bahan bakar asal tanaman yang cukup efisien dan penggunaannya pada pabrik gula secara efisien akan menyebabkan pabrik gula secara umum dapat berswasembada energi,” papar Ketua Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertaian UGM, Dr. Ir. Taryono, M.Sc pada DAAD Alumni Workshop “The Use of Bagasse as a Source of Biomass Energy”, di Auditorium Fakultas Pertanian UGM, Kamis (16/1).
Taryono menambahkan sekitar 87% energi yang digunakan dalam pemrosesan tebu berasal dari bagas yaitu sisa serat setelah nira diambil melalui dipecah dan diperas. Bagas kira-kira terdiri dari 36% selulosa, 28% selulosa, 20% lignin, 13% senyawa organik lainnya dan 2% abu. Ia menjelaskan tebu merupakan satu diantara tanaman pangan penting karena kemampuan pertumbuhannya. Salah satu sifat yang sangat penting adalah kemampuannya secara komersial untuk menghasilkan biomasa melebihi 100 ton/ha/tahun. Bahkan potensi hasil biomasa dapat mencapai 300 ton/ha/tahun hingga 400 ton/ha/tahun.
“Pemrosesan tebu merupakan proses yang memerlukan banyak energi karena energi dalam jumlah besar dibutuhkan untuk menguapkan air dari nira,”katanya.
Saat ini, hampir semua bagas yang dihasilkan oleh pabrik gula habis digunakan untuk sumber energi pabrik tersebut dan diketahui bahwa bagas tebu memiliki kandungan energi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, ketersediaan bagas secara nasional harus ditingkatkan.
“Peningkatan ketersediaan bagas secara nasional dapat dilakukan dengan meningkatkan daya hasil bagas, meningkatkan efisiensi energi ketel pabrik gula dan nilai energi bagas melalui pemampatan (densifikasi),” terang Taryono.
Sementara itu Arief Haryono dari Bapenas mengakui ketersediaan energi merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi sehingga Indonesia tidak terjebak menjadi negara menengah saja. Indonesia mempunyai potensi pengembangan energi disamping bonus demografi penduduk usia produktif di tahun 2030.
“Syaratnya memang pertumbuhan ekonomi kita harus berkisar 6-8 persen,” kata Arief.
Hanya saja sampai saat ini masih dijumpai beberapa kendala antara lain masalah infrastruktur, alokasi pemanfaatan energi, dan kebijakan energi secara nasional, seperti optimalisasi energi primer untuk ekspor atau untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. (Humas UGM/Satria)