YOGYAKARTA – Pertamina dan Perusahaan Gas Nasional (PGN) diminta untuk menggarap potensi produksi gas dalam negeri untuk kebutuhan bahan bakar bagi kendaraan. Pasalnya, harga gas jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar minyak. Lebih dari itu, dalam rentang 10 tahun terakhir produksi gas meningkat sementara produksi minyak tetap stagnan dan makin menipis.
Demikian yang mengemuka Focus Group Discussion (FGD) Panel Ahli “Tata Kelola Gas Bumi sebagai Perwujudan Kedaulatan Energi di Indonesia”, Senin (20/1). Diskusi yang difasilitasi Pusat Studi Energi (PSE) UGM menghadirkan pembicara diantaranya, Kepala PSE UGM, Dr. Deendarlianto, Kepala PSE UI, Prof Iwa Garniwa, dan Ekonom Energi DPP PDI Perjuangan, Darmawan Prasodjo, Ph.D.
Diskusi yang dipandu Dr. Fahmy Radhi, peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, para panel ahli sepakat bahwa tata kelola migas saat ini tidak sesuai dengan amanat konstitusi yang mengharuskan pengelolaan gas diarahkan untuk mencukupi kebutuhan nasional. Sebaliknya, produksi gas RI justru dijadikan komoditas ekpsor. Padahal sejak 2004 lalu, RI sudah menjadi negara importir minyak, dimana harga minyak jauh lebih mahal daripada gas.
“Neraca perdagangan energi kita sudah negatif. Harga minyak per barrel, 110 dollar Amerika Serikat. Harga gas lebih murah sekitar 7 dollar per MMBTU. Seandainya kendaraan pakai gas, jauh lebih murah,” imbuh Darmawan Prasodjo atau yang akrab disapa Darmo.
Pria kelahiran Bantul yang 20 tahun menjadi konsultan perusahaan minyak di Amerika Serikat menegaskan, Pertamina menurutnya tidak berhasil mengelola migas nasional. Alasan Darmo, Pertamina saat ini hanya berkontribusi mengelola 18 persen produksi migas. Padahal perusahaan migas Malaysia, Petronas, mengelola migas mencapai 60 persen, bahkan perusahaan migas milik Arab Saudi sudah mencapai diatas angka 90 persen. “Pertamina paling kecil sendiri dari total lifting,” katanya.
Dia berpendapat, pemerintah saat ini ataupun pemerintah yang akan datang paling tidak mengucurkan dana Rp 300-400 triliun dari dana APBN untuk membangun infrastruktur secara masif dalam memenuhi kebutuhan pasokan gas yang lebih murah dan bersih. “Yang jadi kendala, belum ada infrastruktur yang masif untuk energi gas. Tata kelola niaga di bidang energi, seharusnya mampu membangun infrastruktur yang maju. Pakistan saja, tidak punya gas, tapi semua kendaraan menggunakan gas,” imbuhnya.
Sementara Iwa Garniwa, menuturkan kebijakan energi nasional harus menjangkau kebutuhan dalam beberapa dekade ke depan dan mempertimbangkan berbagai sumber energi. “Pengelolaan energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannnya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu,” katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Energi UGM, Dr. Deendarlianto, mengatakan kegiatan panel diskusi para ahli ini diarahkan untuk menghasilkan kajian mengenai tata kelola pengelolaan enegi dalam rangka mendukung pencapaian kedaulatan energi nasional. (Humas UGM/Gusti Grehenson)