YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada membuka posko untuk bencana erupsi Gunung Sinabung dan banjir daerah Kerawang – Bekasi. Posko UGM Peduli Bencana ini bertempat di kantor Disaster Response Unit (DERU) UGM, Sekip N 54. Hari ini, Kamis (23/1), UGM mengirim dua tim yang diberangkatkan ke Sinabung dan kerawang Bekasi untuk melakukan pemetaan terhadap kondisi terkini dalam rangka program pengiriman mahasiswa KKN PPM Peduli Bencana yang akan diberangkatkan pada awal bulan Februari mendatang.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Prof. Dr. Suratman, M.Sc., mengatakan tim peneliti UGM yang diberangkatkan dikoordinasikan oleh Pusat Studi Bencana (PSBA) dan DERU UGM. “Mereka akan melakukan pemetaan dan melakukan koordinasi dengan pihak pemangku kepentingan. Mulai hari ini kita secara resmi membuka posko di kantor DERU,” kata Suratman.
Dibukanya posko peduli bencana Sinabung dan bencana banjir ini menurut Suratman untuk membantu meringankan beban dari warga yang terkena bencana. Terkait dengan Sinabung, kata Suratman, UGM secara khusus mengirim mahasiswa KKN PPM. Menurutnya penanganan bencana Sinabung akan berlangsung lama seperti halnya bencana erupsi Merapi. “Mulai dari penanganan masa tanggap darurat, rehab dan rekon,” katanya.
Namun demikian, mahasiswa KKN PPM yang dikirim pada masa tanggap darurat ini nantinya akan lebih banyak melakukan kegiatan pendampingan pendidikan, bantuan kesehatan, logistik, sosial ekonomi dan pendampingan psikologi berupa trauma healing bagi anak-anak yang tinggal di lokasi pengungsian.
Pengalaman DERU UGM dalam ikut membantu penanganan korban bencana eruspi gunung merapi pada 2010 lalu, diakui Suratman bisa menjadi modal untuk membantu penananganan bencana Sinabung. “UGM juga akan membantu tugas pemetaaan daerah rawan bencana untuk perubahan pembangunan tata ruang pasca erupsi Sinabung. Sudah menjadi tugas keilmuan kita di bidang akademik,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Prof. Dr. Langkah Sembiring, B.Sc., M.Sc., salah satu anggota Tim Peneliti yang diberangkatkan ke Sinabung mengatakan situasi di Sinabung semakin mengkhawatirkan. Pasalnya, erupsi Sinabung terjadi tiga kali letusan setiap harinya, bahkan jarak pandang hanya berkisar 1-2 meter. “Ada 42 titik pengungsian dengan total pengungsi lebih 40 ribuan jiwa. Warga sudah tinggal di tempat pengungsian lebih dari empat bulan,” kata pria kelahiran Karo Sumatera Utara, 54 tahun lalu ini.
Meski tidak terjadi korban jiwa, menurutnya, tekanan psikologis dan trauma warga yang kini tinggal di lokasi pengungsi perlu segera mendapat pendampingan. Sebelumnya sempat terjadi konflik antar warga. “Saya kira perlu semacam ide kreatif agar ada aktivitas warga yang tinggal di tenda pengungsian. Seperti warga korban Merapi yang diajarkan membuat kerajinan tangan,” ujarnya.
Dosen Fakultas Biologi ini menjelaskan, warga sinabung tidak memiliki pengalaman dan ingatan kolektif mengenai erupsi Gunung Sinabung. Pasalnya erupsi Sinabung terjadi 400 tahun yang lalu. “Makanya mereka tidak punya istilah wedhus gembel seperti halnya warga Merapi. Masyarakat di sana sangat takut saat Sinabung meletus. Saking takutnya tidak ada yang jadi korban, karena lebih mudah diajak evakuasi,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)