![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/01/1501141389776966274681693-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Bencana banjir yang melanda sebagian Pantura Jawa–termasuk wilayah Propinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur– secara fisiografi didominasi kondisi kawasan rendah dengan struktur tanah lunak. Sementara itu, kondisi hidrologis menunjukkan tingkat intensitas hujan durasi pendek yang relatif tingi. Dengan demikian, hal ini menuntut penanganan pengaturan jaringan drainase sungai utama maupun drainase tata saluran di lingkungan urban ataupun rural.
“Kawasan Pantura Jawa merupakan kawasan yang rentan terhadap genangan. Keberhasilan sistem pengaturan drainase, kawasan pemaduan sistem drainasi makro, dan sistem drainase mikro secara utuh menjamin fungsi secara berkelanjutan,” kata Prof. Dr. Djoko Legono, anggota tim studi Banjir Fakultas Teknik, Kamis (23/1) usai meninjau lokasi banjir di DKI dan Pantura.
Menurut dosen Teknik Sipil ini persoalan utama yang dijumpai di daerah yang terkena banjir adalah belum sinkron dan terkoordinasinya masalah penanganan pada tingkat pembangunan maupun tingkat operasi dan perawatan pasca pembangunan. Padahal dilihat dari sisi fungsi kawasan, wilayah Pantura Jawa sangat strategis sebagai kawasan pendukung kegiatan industri secara nasional maupun pendukung penyediaan pangan. “Dampak negatif akibat banjir tentunya akan sangat tinggi dimana arus barang terhenti, lumbung pangan terancam, dan kesehatan lingkungan menurun,” imbuhnya.
Frekuensi kejadian banjir di kawasan Pantura Jawa setiap tahunnya cukup tinggi dengan kecenderungan intensitasnya juga semakin lama makin tinggi. Namun begitu, pendekatan penanganan kerawanan terhadap bencana banjir di kawasan Pantura Jawa perlu ditingkatkan dengan beberapa upaya pengembangan penanganan darurat banjir. Hal itu dapat dilakukan pula dengan adanya penyediaan shelter atau tempat pegungsian sementara dengan kapasitas dan fasilitas yang memadai.
Sedangkan untuk mengantisipasi bencana banjir akibat curah hujan yang ekstrim diperlukan penyediaan kawasan yang bersifat sebagai kolam penampung banjir di setiap daerah perlu digalakkan, diperbanyak, disosialisasikan, dan dipelihara fungsinya. “Dapat bersifat sementara yang kemudian digunakan lagi pada kondisi normal,” ujarnya.
Penanganan penanggulangan banjir juga perlu menetapkan banjir rancangan yang pada debit banjir tertentu dimana pada saat aliran lebih kecil dari debit banjir rancangan masyarakat dan fasilitas publik dijamin aman baik dari kerusakan atau fungsinya terlindungi. “Dengan begitu tindakan upaya penanggulangan banjir struktural mempunyai target yang jelas,” tambahnya.
Sementara itu, untuk menghadapi banjir lebih besar dari banjir rancangan itu, upaya penanggulangan adalah peringatan dini; upaya antisipasi dalam menghadapi bencana termasuk pembangunan kapasitas masyarakat dalam hal adaptasi sampai dengan evakuasi. “Persoalannya selama ini usaha pencegahan pada kondisi normal sepertinya memang kurang dipersiapkan,” tandasnya.
Ir. Adam Pamudji Rahardjo, M.Sc., Ph.D., salah satu anggota tim studi banjir lainnya menerangkan, fenomena hujan dan banjir perlu dipahami sebagai fenomena yang dapat terjadi di mana saja–termasuk Pantura Jawa– kapan saja, dan dengan intesitas biasa ataupun ekstrim. Pemahaman karakter banjir dan tingkat kerawanan yang terstruktur sangat diperlukan dengan adanya pelatihan untuk memahami kebutuhan dan pembentukan organisasi masyarakat yang diduga terkena dampak.
Di samping itu, sambungnya, pelatihan evakuasi secara periodik dengan memanfaatkan modalitas yang memadai seperti peta evakuasi, prosedur evakuasi, organisasi masyarakat perlu dilakukan secara taratur dan melibatkan seluruh jajaran terkait. (Humas UGM/Gusti Grehenson)