YOGYAKARTA – Di musim penghujan seperti sekarang ini, ancaman bahaya longsor akan makin meningkat. Kejadian bencana longsor di Jombang dan Kudus yang menelan korban juga bisa mengancam daerah lain. Pasalnya, pemukiman rumah penduduk yang berada di daerah lereng perbukitan memiliki risiko terkena ancaman longsor.
Guru Besar Jurusan Teknik Geologi UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., menghimbau agar masyarakat waspada terhadap bencana tanah longsor. Menurutnya, kejadian longsor disebabkan oleh gerakan tanah disertai dengan suara gemuruh atau suara gemeretak dari arah atas lereng, yang pada awalnya dapat disertai batu-batu kecil atau kerikil yang menggelinding ke arah bawah lereng. “Apabila mendengar suara gemuruh ini, jangan segera menghampiri lokasi gerakan tanah atau bahkan berkerumun pada lokasi tersebut, tapi segera menghubungi aparat pemerintah setempat dan mencari bantuan penyelamatan,” kata Dwikorita kepada wartawan, Kamis (30/1) di Kampus UGM.
Saat curah hujan tinggi, masyarakat yang tinggal di daerah perbukitan atau di sekitar lereng untuk segera berusaha lari menghindar sementara hingga menunggu hujan berhenti. “Bila mendengar suara gemuruh, segera menuju ke lahan yang lebih datar dan jauh dari lereng yang rentan, dan jauh dari lembah sungai,” katanya.
Guna mewaspadai gejala awal tanah longsor akibat gerakan tanah atau batuan sebagai peringatan dini bisa dilihat dengan miringnya pohon-pohon dan tiang-tiang pada lereng, muncul retakan-retakan tanah berbentuk lengkung memanjang berbentuk tapal kuda pada lereng. Selain itu, lereng tiba-tiba terlihat menggembung, “Biasanya muncul rembesan-rembesan air pada lereng, dan apabila rembesan makin deras dan airnya menjadi keruh, maka diperkirakan lereng segera akan bergerak dan terjadi longsor,” kata peneliti longsor ini.
Selain itu, naiknya muka air sungai beberapa centimeter, air sungai menjadi keruh lebih keruh, atau tiba-tiba terjadi aliran lumpur atau aliran pasir pada lembah sungai, bisa sebagai penanda terkjadi longsor. Sedangkan dari sisi bangunan rumah ditandai dengan munculnya retakan pada lantai dan tembok bangunan. “Amblesnya sebagian lantai konstruksi bangunan ataupun amblesnya tanah pada lereng. Lalu pintu atau jendela bangunan tiba-tiba tidak dapat dibuka,” katanya.
Setelah musim hujan berlalu, untuk menghindari ancaman longsor bagi mereka yang sudah telanjur menempati rumahnya, dia menyarankan agar segera melakukan upaya perbaikan lereng dan lingkungan. Hal itu terutama dilakukan dengan memperbaiki geometri lereng, melancarkan saluran-saluran air pada lereng, membuat perkuatan lereng, dan menanami lereng dengan vegetasi yang tepat.
Perbaikan Tata Ruang
Dwikorita menghimbau kepada pemerintah untuk melakukan penataan tata ruang dengan melakukan pemetaan geologi untuk mengetahui daerah zona rawan longsor. “Daerah yang rawan ini sebetulnya sudah dipetakan namun belum didetailkan atau dimasukkan dalam tata ruang penataan lahan,” katanya.
Menurut Rita, demikian ia akrab disapa, umumnya pembangunan tata ruang di beberapa daerah tidak memperhatikan aspek daerah zona tanah bergerak. “Misalnya tol Cipularang tanahnya tetap terus bergerak, beban kendaraan akan memperepat pergerakan tanah namun bisa diperkuat drainase tapi tidak bisa dikurangi,” terangnya.
Sementara daerah pemukiman yang berada di zona tanah bergerak perlu dipertimbangkan dalam rencana konsep pembangunan tata ruang untuk menghindari jatuhnya korban saat bencana longsor. “Yang jadi masalah penegakan hukum tata ruang sering tidak diterapkan dan selalu dilanggar. Aspek hukum, sosial, rekayasa geologi, perlu segera dirumuskan bersama,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)