YOGYAKARTA – Kejadian bencana Gempa Bumi, Banjir dan Erupsi Gunung api sering dikaitkan dengan mitos oleh sebagian masyarakat. Mitos dan mispersepsi semacam ini justru tidak memberikan dampak positif dalam penanggulangan bencana. Sehingga penting ada upaya untuk melakukan demistifikasi pada masyarakat. Ilmu pengetahuan dan kearifan lokal bisa dimanfaatkan untuk itu, meski tidak semua kejadian bencana bisa diungkap semuanya.
Kejadian gempa bumi Kebumen sabtu pekan lalu dan gempa bumi Bantul 2006 selalu dikaitkan dengan kemunculan awan cirrus (awan tegak lurus). Menurut pakar kebencanaan UGM, Prof. Ir. Dwikoritas Karnawati, M,Sc., Ph.D., kemunculan awan tersebut bisa ada di mana-nama namun tidak berpengaruh ada dan tidaknya kejadian gempa. “Awan seperti ini pernah juga muncul di Malaysia, tapi tidak terjadi gempa,” kata Dwikorita saat menjadi pembicara kunci dalam seminar Desmistifikasi Persepsi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Alam yang di gedung University Club (UC),Sabtu (1/2).
Seminar yang diselenggarakan UGM dan Akademi Ilmu Pengetahuan Yogyakarta (AIPY) menghadirkan pembicara lain, Dosen jurusan teknik geologi Dr. Ir. Agung Harijoko; Juru Kunci Gunung Merapi Mas Bekel Anom Suraksosihono; pegiat Medang Heritage Society Ir. Hadiwaratama, M.Sc.E.; Antropolog UGM Dr. Bambang Hudayana; serta Kepala BPPTKG Dr.Ir Subandrio.
Dwikorita menerangkan, hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan tepatnya kejadian gempa bumi akan berlangsung. Sedangkan bencana banjir dan meletusnya gunung berapi masih bisa diprediksi dengan tanda-tanda aktivitas gejala alam yang ditimbulkan. “Kalo gempa tidak bisa diprediksi jam, tanggal, bulan dan tahunnya. Erupsi Gunug Api masih bisa diprediksi lewat status aktivitasnya dari kondisi siaga dan awas. Sedangkan banjir lebih mudah lagi diprediksi,” tuturnya.
Khusus untuk banjir, kata Dwikorita, masyarakat bisa secara langsung untuk mengetahuinya dengan melihat munculnya gejala alam. Misalnya air sungai yang tiba-tiba berwarna kuning karena membawa kandungan pasir, lumpur, atau membawa ranting dan kayu meski dalam kondisi tidak hujan. “Karena bisa jadi terjadi hujan di daerah hulunya,” imbuhnya.
Munculnya ranting dan batang kayu yang hanyut di sungai diakui Dwikorita merupakan contoh untuk bencana banjir bandang. Pasalnya, banjir ini disebabkan karena bendungan alami yang ada didaerah hulu sungai jebol. Bendungan alami terbentuk lewat ranting, pasir dan kayu. Kejadian ini pernah terjadi di bencana bajir sungai Wasior Papua Barat dan Bahorok Sumut.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Yogyakarta (AIPY), Dr. Budiono Santoso mengatakan bencana di Indonesia sering dikaitkan dengan mitos. Menurutnya mitos dan mispersepsi yang tidak memberikan dampak positif dalam penanggulangan bencana. “Saya kira para akademisi bisa ikut melakukan upaya demistifikasi ini,” katanya.
Bencana DIY
Dosen Jurusan Teknik Geologi UGM, Dr. Ir. Agung Harijoko dalam pemaparannya mengatakan Yogyakarta terletak di tengah pulau Jawa mempunyai kondisi geologi yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas penunjaman lempeng. Pasalnya geomorfologi DIY berupa lembah yang diapit oleh pebukitan Kulon Progo sebelah barat dan perbukitan Boko-pegunungan selatan di sisi timur. Sementara di sisi utara terdapat gunung Merapi dan samudera Indonesia di sisi selatan. “Bencana di DIY tidak lepas dari tatanan dari aktivitas tektonik,” katanya.
Oleh karena itu, potensi bencana geologi yang terjadi di DIY adalah erupsi Gunung Merapi, gempa bumi dan tanah longsor. “Gempa bumi bisa memicu terjadi erupsi Merapi walaupun tidak langsung sebagaimana gempa bumi memicu tanah longsor,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)