Provinsi Kalimantan Tengah memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar keempat di Indonesia. Dengan luas total mencapai 1.687.969,104 Ha (2009), ekspansi perkebunan kelapa sawit berdampak pada memburuknya kondisi jalan nasional dan provinsi yang digunakan sebagai jalur utama untuk proses produksi dan distribusi Crude Palm Oil (CPO).
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah (2007) mencatat lebih dari 50 persen jalan nasional (1.707,57 km) dan jalan provinsi (1.050,26 km) dalam kondisi rusak berat akibat truk dengan muatan berlebih. Dari hasil survei di lapangan diketahui truk tangki bermuatan CPO mencapai 12 hingga 20 ton, sedangkan muatan sumbu terberat jalan yang diijinkan hanya 8 ton.
“Kondisi ini tentu tidak hanya berdampak pada kerusakan infrastruktur jalan, namun juga mengakibatkan buruknya pelayanan transportasi, seperti rendahnya kecepatan kendaraan, lama waktu tempuh dan tingginya biaya transportasi barang di wilayah itu,” kata Noor Mahmudah, S.T., M.Eng, di Ruang Sidang Biru, Lantai 3 Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, Jum’at (7/2).
Melihat kondisi tersebut, Noor Mahmudah mengungkapkan perlu dikembangkan metode perencanaan transportasi barang yang terintegrasi dengan model lokasi spasial dan konsep antarmoda dengan mempertimbangkan karakteristik yang dimiliki suatu wilayah. Tidak hanya itu, diperlukan pula upaya melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mewujudkan sistem transportasi barang yang efisien.
“Karena itu, penelitian ini bertujuan memformulasikan suatu metodologi untuk perencanaan transportasi regional guna menciptakan transportasi barang regional yang efisien dengan mempertimbangkan karakteristik suatu wilayah,” ungkap dosen PNS dpk Kopertis Wilayah XI Kalimantan saat menempuh ujian terbuka Program Doktor Bidang Ilmu Teknik Sipil UGM.
Metode perencanaan transportasi barang yang berkembang dewasa ini, menurut Noor Mahmudah, umumnya mempertimbangkan lokasi industri atau kegiatan ekonomi sebagai data eksternal (exogenous) dalam pemodelan transportasi. Sementara itu, metode baru mempertimbangkan lokasi spasial sebagai data internal yang melekat (endegenous) pada pemodelan transportasi.
“Pemodelan transportasi dapat dikelompokan menjadi pemodelan yang berbasis perjalanan (trip-based) dan pemodelan transportasi yang berbasis komoditas (comodity-based),” papar perempuan kelahiran Kuala Kapuas, 3 Oktober 1970 saat mempertahankan desertasi “The Development of Methodology for Regional Transportation Planning: Freight Transportation Model in Central Kalimantan, Indonesia”.
Pemodelan berbasis perjalanan lebih menekankan pada penelusuran jumlah dan rute perjalanan kendaraan. Sementara pemodelan transportasi berbasis komoditas berfokus pada pemodelan jumlah komoditas yang diangkut. “Metode yang kemudian dikembangkan adalah mengintegrasikan kedua pemodelan transportasi tersebut. Adapun metode perencanaan transportasi barang yang dikembangkan dalam penelitian ini lebih efisien karena tahapan untuk pemodelan distribusi, pemilihan moda dan rute dilakukan secara bersamaan,” jelasnya. (Humas UGM/Agung)