YOGYAKARTA – UUD 1945 yang mengalami amandemen empat kali dinilai tidak berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Pasalnya ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antarpasal dan ayat dalam undang-undang tersebut. Akibatnya, negara terjebak pada kekuasaan oligarki, praktik penyelenggaraan lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.
Demikian yang mengemuka dalam Sarasehan Kebangsaan “Mewujudkan UUD Berdasar Pancasila”, Rabu (12/2), di Kampus UGM. Sarasehan yang digagas Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM ini menghadirkan para pakar dan intelektual seperti Ketua PSP UGM Prof. Dr. Sudjito, Tokoh Masyarakat Prof. Dr. Ahmad Safii Maarif, Guru Besar Ilmu Filsafat UGM Prof. Dr. Kaelan, dan Sosiolog UGM Prof. Dr. Sunyoto Usman.
Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Dr. Kaelan mengatakan amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang Negara Hukum, Tujuan Negara, dan Demokrasi, tidak menunjukkan adanya hubungan yang koheren dengan nilai-nilai cita hukum yang terkandung dalam esensi staatsfundamentalnorm yaitu nilai-nilai Pancasila. “Hasil penjabaran dari amandemen UUD lebih memprioritaskan aspek politik dan hukum sementara tujuan negara welfare state tidak dijadikan prioritas,” katanya.
Kaelan mencontohkan beberapa pasal UUD 1945 misalnya, ayat 4 pada pasal 33 yang mengatur perekonomian Indonesia bertentangan dengan tiga ayat sebelumnya. “Yang intinya menyebutkan demokrasi ekonomi dan dalam prakteknya diterapkan ekonomi liberal. Pasal ini tidak koheren dengan pembukaan UUD 1945, Pancasila dan Pasal 1 UUD 1945,” katanya.
Pasal lainnya, seperti Pasal 1 ayat (1) menyebutkan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik, lalu pada ayat 2 Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Namun berdasarkan sistem demokrasi hasil amandemen, kekuasaan eksekutif dan legislatif, menunjukkan representasi kekuasaan rakyat berhenti pada presiden, DPR dan DPD.
Apabila sebelum amandemen MPR merupakan representasi kekuasaan dan kedaulatan, dengan hasil amandemen UUD tugas MPR hanya praksis melantik Presiden dan Wakil Presiden saja, “Struktur kekuasaan negara yang ada saat ini, MPR itu ibarat macan ompong. Setelah tugasnya melantik, kemudian tidur selama 5 tahun,” selorohnya.
Menurut Kaelan, jika kedaulatan rakyat berhenti pada presiden dan DPR maka tujuan negara tentang kesejahteraan sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila akan mustahil terwujud.
Selain itu pada pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan Umum juga menunjukkan kontradiksi, dimana proses demokrasi berprinsip liberalisme-individualisme, karena semua dilaksanakan secara langsung berdasarkan pada prinsip matematis tanpa memberi ruang musyawarah dan mufakat.
Senada, Ahmad Syafii Maarif menilai hasil pemikiran amandemen UUD 1945 saat ini jauh menyimpang pada nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, titik pangkal persoalan ada pada perilaku elit negara yang tidak bersikap negarawan. “Amandemen UUD itu karena ada euforia begitu rupa. Amandemen 4 kali itu tidak sehat, sarat emosional,” ujarnya.
Untuk meluruskan kembali UUD 1945 yang berdasarkan pada Pancasila, Safii Maarif mengusulkan agar bisa merujuk hasil dokumen konstituante 1956-1959. “Perlu ungkap kembali, 90 persen isinya bagus,” katanya.
Kepala PSP UGM, Prof. Sudjito, mengatakan amandemen UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini banyak yang tidak sesuai dengan Pancasila. Sebab, wakil rakyat dahulunya tidak diajarkan tentang ilmu dan norma-norma dasar filsafat Pancasila. “Jika norma dasarnya salah, tataran praksis akan tetap salah,” tambahnya.
Diakui Sudjito, banyak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan hanya menyesuaikan pada kepentingan partai, kelompok, dan tidak jarang mencomot ideologi asing. (Humas UGM/Gusti Grehenson)