Setiap tahun UGM tidak hanya menerima mahasiswa dalam negeri, tetapi juga mahasiswa dari berbagai negara di dunia. Pada semester genap periode ajaran 2013/2014 ini UGM kembali menerima 105 mahasiswa asing melalui jalur non-degree seperti student exchange dan The Indonesian Language and Culture Learning Service (INCULS). Keseratus lima mahasiswa berasal dari berbagai universitas di delapan negara, yaitu Amerika Serikat, Australia, Belanda, Jepang, Jerman, Korea, Perancis, dan Norwegia.
“Untuk mahasiswa asing UGM menerima melalui dua kali intake yaitu pada bulan September dan Februari,” kata Rio Rini Moehkardi, M.A., Kepala Sub Dit Urusan Internasional UGM, di sela-sela acara orientasi mahasiswa asing UGM, Rabu (12/2) di Graha Sabha pramana UGM.
Rio menyampaikan sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa diberikan orientasi mengenai berbagai informasi terkait persyaratan ijin belajar, ijin tinggal, dan pengurusan visa di Indonesia. Selain itu juga diberikan penjelasan terkait unit-unit layanan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan mahasiswa seperti Kantor Urusan Internasional (KUI), perpustakaan, klinik kesehatan GMC, dan yang lainnya.
“Mahasiswa diajak bersepeda keliling kampus UGM dan berhenti di setiap unit yang nantinya bersentuhan langsung dengan kebutuhan mereka. Mereka diberikan penjelasan oleh pemandu. Harapanya dengan orientasi ini mereka bisa paham bagaimana tinggal di sini dan tidak menemui banyak hambatan selama kuliah di UGM,” terangnya.
Untuk mendukung kelancaran mahasiswa asing selama menempuh studi di UGM, belum lama ini KUI telah merilis layanan UGM Buddy Club. Program ini merupakan jenis layanan pendampingan bagi mahasiswa asing yang dilakukan langsung oleh mahasiswa UGM.
“Memang untuk pendampingan mahasiswa asing dilakukan oleh fakultas masing-masing, terutama untuk pendampingan akademik. Namun, di tingkat UGM belum lama ini telah dibuka UGM Buddy Club yakni layanan pendamping oleh mahasiswa lokal untuk mahasiswa asing,” ujarnya.
Rio menambahkan selain pendampingan akademik juga dilakukan pendampingan non-akademik. Pendampingan non-akademik biasanya dilakukan untuk membantu mahasiswa asing yang mengalami gegar budaya. “Mentoring justru lebih banyak dilakukan untuk mengatasi culture shock pada mahasiswa asing,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., dalam sambutannya menegaskan bahwa UGM selalu siap dan terbuka untuk membantu para mahasiswa yang menemui kesulitan selama menempuh studi. Ia pun berharap nantinya para mahasiswa asing dapat belajar dengan lancar dan mampu beradaptasi dengan mahasiswa Indonesia dan masyarakat Yogyakarta.
“Kita harapkan para mahasiswa asing tidak hanya belajar di bidang akademik saja, namun mau menyisihkan waktu untuk belajar dan mengenal kebudayaan Jogja,” tuturnya.
Dwikorita mengatakan bahwa mahasiswa asing dapat belajar tentang keberagaman budaya melalui interaksi dengan mahasiswa UGM. Pasalnya UGM memiliki mahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang suku dan kebudayaan yang berbeda dari seluruh Indonesia.
“UGM layaknya miniatur Indonesia. Jadi para mahasiswa asing bisa belajar pluralisme di UGM karena mahasiswanya berasal dari berbagai daerah di wilayah Indonesia,” kata Dwikorita.
Miriama Ketedromo, mahasiswa asing asal Kepulauan Fiji mengaku tidak begitu banyak menjumpai kendala bahasa saat tiba di Yogyakarta. Sebelum kuliah di UGM, ia telah mengambil kurus untuk belajar Bahasa Indonesia sehingga sedikit banyak membantunya dalam berkomunikasi dengan masyarakat lokal.
“Sejak 2011 kemarin saya sudah ikut les jadi sedikit-sedikit mengerti Bahasa Indonesia,” ungkap mahasiswi asal Fiji National Univesrity yang mengikuti student exchange Program Master Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian ini.
Miriama berharap melalui program pertukaran pelajar ini ia bisa menimba ilmu tentang ekonomi pertanian di Indonesia. Disamping itu, ia pun juga dapat belajar tentang budaya dan nilai-nilai masyarakat Yogyakarta. (Humas UGM/Ika)