Abu vulkanik akibat erupsi Gunung Kelud pada Kamis (13/2) menyebar secara luas hingga mencapai wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Erupsi ini berdampak luas terhadap berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk di dalamnya bidang pertanian. Lahan pertanian mendapat dampak cukup signifikan karena material erupsi menutupi bahkan menghilangkan lahan pertanian. Meski tidak berdampak sebesar saat letusan Merapi, produk pertanian hortikultura DIY mendapat dampak paling besar.
“Begitu terjadi hujan abu vulkanik, kami dari tim Fakultas Pertanian UGM sempat keliling DIY melihat seberapa parah kerusakan pada lahan pertanian warga. Memang jika dibandingkan dengan letusan Merapi, kali ini dampaknya tidak terlalu besar. Hanya pada tanaman hortikultura kelihatannya yang paling banyak mengalami kerugian,” ujar Pakar Fisologi Pertanian, Prof. Dr. Didik Indradewa, Dip.Agr.St.
Menjelaskan dampak erupsi Gunung Kelud terhadap lahan pertanian, di Fakultas Pertanian UGM, Rabu (19/2), Didik mengatakan beberapa contoh pertanian hortikultura yang terkena dampak abu vulkanik ialah pertanian salak di Sleman, Melon di Kulonprogo, dan pisang di Bantul. Dijelaskannya, bentuk fisik tanaman hortikultura kebanyakan tidak kecil tegak seperti padi, namun memiliki daun yang lebar dan memiliki sela-sela batang. Abu yang memenuhi sela batang dan daun tanaman mampu mematahkan cabang tanaman karena tidak mampu menahan berat beban abu.
“Daun tanaman yang tertutup abu pun jelas berdampak buruk karena menutupi stomata daun. Dengan tertutupnya stomata, proses fotosintesis tanaman menjadi terhambat, akibatnya pertumbuhan tanaman tidak maksimal dan produk yang dihasilkan pun jelas kurang baik,” paparnya.
Dosen Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM ini pun mengatakan, dalam kondisi saat ini yang sangat diperlukan adalah air untuk menyiram seluruh bagian dari tanaman pertanian. Dengan menyingkirnya debu, tanaman bisa hidup dan tumbuh dengan baik. Untuk tanaman tegak seperti padi justru tidak mengalami persoalan yang berarti.
Pakar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM, Dr. Ir. Benito Heru Purwanto mengatakan, meski merugikan abu vulkanik di sisi lain memberikan kesuburan tanah dan tanaman. Abu vulkanik bahkan bisa menjadi salah satu bahan membuat media tanam.
“Jika hanya menggunakan abu vulkanik saja sebagai media tanam tentu malah tanaman yang ditanam akan mati. Tapi jika kita mencampurnya dengan tanah biasa, diberi tambahan konsentrat pupuk dan disiram air, media tanam yang dihasilkan bisa membuat pertumbuhan tanaman kita lebih baik,” ujarnya.
Untuk kecepatan pemulihan lahan pertanian, kata Benito, sangat ditentukan oleh ketebalan tutupan bahan vulkanik di atas tanah asli. Lahan pertanian yang tertimbun oleh material vulkanik yang tebal dan kasar dalam berbagai ukuran menunjukkan lahan tersebut tertimbun oleh material baru yang bersifat loose (rapuh). Akibatnya, material tersebut mudah terbawa oleh angin ataupun air hujan.
Karena itu, menurutnya, perlu diwaspadai kemungkinan terjadi longsor terutama pada lahan dengan kelerengan tanah yang tinggi. Wilayah-wilayah pertanian lain yang turut kena dampak abu vulkanik adalah Kediri, Blitar, Malang, Yogyakarta, dan Solo. “Untuk wilayah-wilayah tersebut, apabila timbunan abu vulkaniknya kurang dari 5 cm maka tidak berdampak negatif pada pertanian, terlebih jika material yang diendapkan adalah debu halus hal ini justru meningkatkan kadungan hara tanah,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Pakar Perikanan Fakultas Pertanian UGM, Dr. Ir. Bambang Triyatmo, M.P menuturkan, hujan abu vulkanik kemungkinan besar berdampak pada menurunnya produksi ikan akibat banyak ikan yang mati. Abu vulkanik yang bersifat sangat lembut jelas mengurangi kualitas air. Belum lagi jika abu masuk dan memenuhi insang ikan sebagai alat pernapasan.
“Kadar keasaman abu yang lebih rendah dari pH kolam pada umumnya 7. Perubahan mendadak ini bisa membuat ikan stress dan akhirnya mati. Atau kemungkinan lain, pemilik perikanan stress mengatasi abu sehingga tidak merawat ikan-ikannya dengan baik,” katanya.
Belum lagi masalah partikel abu yang mengendap. Namun jika sudah berbentuk koloid, menurut Bambang, abu sulit mengendap. Solusi terbaik untuk mengatasi hal tersebut ialah terus menerus mengganti air kolam. Namun untuk tindakan praktis, budidaya ikan lele bisa menjadi pilihan. “Selain bisa langsung me-recover sisi ekonomisnya, lele juga termasuk ikan yang bisa bertahan hidup di air dengan kualitas kurang baik. Ini juga bisa menjadi solusi awal,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)