![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/25021413933193471880202868-765x510.jpg)
Kaum Quaker mempunyai peran bagi Amerika yang mengakui prinsip HAM sebagai dasar dan falsafah kenegaraannya sejak awal berdirinya. Upaya penegakan prinsip-prinsip HAM oleh kaum Quaker ini nyatanya mendukung dan menyetujui konsep HAM yang berlaku secara formal dan konstitusional di AS. Dengan fakta ini, visi kaum Quaker mempunyai kesesuaian dengan visi kebangsaan Amerika yang liberal.
“Visi HAM kaum Quaker adalah HAM liberal sama dengan konsep HAM Amerika. Demikian juga upaya penegakan HAM yang dimunculkan kaum Quaker,” papar dosen FKIP Universitas Mataram (UNRAM), Nuriadi pada ujian terbuka program doktor Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (26/2) di FIB UGM. Pada kesempatan itu Nuriadi mempertahankan disertasinya yang berjudul “Penegakan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia di Amerika: Kasus Gerakan Kaum Quaker Sebelum Abad ke-20”.
Nuriadi menambahkan kaum Quaker berpandangan bahwa semua manusia adalah makhluk Tuhan yang setara, terlepas dari perbedaan-perbedaan alamiah seperti ras, warna kulit, suku, bangsa, dan jenis kelamin. Pandangan ini bersumber dari keyakinan Quakerisme yang mengajarkan adanya Tuhan di dalam setiap hati nurani manusia yang disebut dengan the Inner Light, the Inward Light, atau the Christ Within.
“Pemikiran ini mendorong mereka untuk bersikap tegas terhadap ketidakadilan melalui upaya penegakan prinsip HAM,” katanya.
Ia menjelaskan tujuan utama upaya Quaker ini adalah terwujudnya prinsip-prinsip HAM berupa kesetaraan, kebebasan, keadilan, ataupun nondiskriminasi dalam kehidupan kaum minoritas seperti kaum pribumi, Afro-Amerika, dan perempuan. Upaya penegakan prinsip-prinsip HAM kemudian dapat dilihat sebagai salah satu identitas yang dimiliki mereka pada era sebelum abad ke-20. Dikatakan demikian karena upaya mereka muncul secara aktif dan simultan di Amerika sejak abad ke-17 sampai dengan abad ke-19, meskipun isu HAM yang diperjuangkan berbeda serta dilakukan oleh tokoh-tokoh Quaker yang berbeda pula.
“Dalam konteks ini, upaya penegakan prinsip HAM merupakan manifestasi dari keyakinan tersebut sekaligus dapat menjadi indikasi sejauh mana ketaatan para penganutnya terhadap Tuhan dalam paham Quakerisme,” kata Nuriadi.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa suatu teologi, ideologi, dan keyakinan sebenarnya dapat berperan sebagai kekuatan bagi setiap individu atau sekelompok individu dalam mewujudkan pemikiran, sikap, dan perilaku terkait dengan munculnya peristiwa atau realitas tertentu. Dikatakan demikian karena teologi, ideologi, ataupun keyakinan tersebut berposisi sebagai sistem pengetahuan yang menjadi pedoman hidup bagi setiap pengikutnya.
Seperti diketahui kaum Quaker adalah kelompok agama (religious group), sekte, atau denominasi di dalam agama Kristen yang didirikan oleh George Fox di Inggris pada tahun 1647. Ia muncul pertama kali di Amerika pada tahun 1655 dengan hadirnya Elizabeth Harris dan dilanjutkan oleh Mary Fisher dan Ann Austin setahun kemudian. Kelompok ini berposisi sama dengan kaum Baptis, Adventis, Mennonite, Morovan, Mormon, Episkopal, Amish, Lutheran, Welsh Baptis, ataupun Presbitarian. (Humas UGM/Satria)