![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/28021413935626801400366018-680x510.jpg)
Pola kepemimpinan juragan perlu dilaksanakan secara konsisten oleh Walikota Yogyakarta setelah lengsernya Walikota Herry Zudianto pada periode 2003-2007 serta 2007-2011 lalu. Tanpa pola kepemimpinan tersebut birokrasi sangat rentan kembali pada perilaku transaksional, yang akan berdampak pada menurunnya kembali kinerja pelayanan publik sebagaimana sebelum era reformasi, termasuk perilaku negatif seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Secara bertahap pula pola kepemimpinan juragan ini perlu ditransformasikan ke pola kepemimpinan birokrasi transformasional untuk membentuk perilaku birokrasi transformatif,” papar R. Widodo Triputro pada ujian terbuka program doktor Ilmu Administrasi Negara, FISIPOl UGM, Jumat (28/2).
Dalam disertasinya yang berjudul “Kepemimpinan Walikota dalam Reformasi Birokrasi Pemerintahan Daerah: Studi Kasus tentang Pola Kepemimpinan Walikota Herry Zudianto dalam Reformasi Birokrasi Pemerintahan Kota Yogyakarta”, Widodo menilai pada era Herry Zudianto, Kota Yogyakarta dikategorikan berhasil dalam reformasi birokrasi. Salah satu faktornya adalah peran kepemimpinan Walikota yang cukup efektif menggerakan birokrasi, dengan indikator utama berupa kinerja pelayanan publik meningkat dan terbentuk birokrasi yang relatif bersih dari korupsi.
Dari penelitiannya itu terungkap bahwa untuk internal birokrasi, pola kepemimpinan Walikota cenderung otoriter terutama dalam hal pengambilan kebijakan (keputusan) baik yang teknis maupun strategis. Sedangkan dalam pelaksanaan tugas, Walikota cenderung instruktif-direktif untuk menggerakkan birokrasi sebagai mesin produksi pelayanan publik yang efektif dan efisien.
“Ini memang bisa dikategorikan otoriter karena Walikota cenderung menampilkan karakter yang keras (tangan besi) untuk menggerakan birokrasi,” kata staf pengajar di STPMD APMD Yogyakarta tersebut.
Terminologi kepemimpinan juragan, kata Widodo, merujuk pada praktik kepemimpinan para pemilik usaha (umumnya usaha kecil) yang mana dalam budaya Jawa sering disebut juragan. Analogi ini tidak bermaksud menyejajarkan dengan model kepemimpinan birokrasi transformasional yang merujuk pada model kepemimpinan entrepreneur dalam lembaga bisnis modern. Model kepemimpinan birokrasi transformasional merupakan koreksi dari model kepemimpinan transaksional yang umumnya dipraktikkan pada organisasi birokratis. Dengan demikian, model kepemimpinan transformasional diperlukan untuk mentransformasikan konsep dan nilai reformasi birokrasi.
“Dalam konteks birokrasi patrimonial dan masih terikat oleh political authority sebagaimana birokrasi di daerah, tentu tidak serta-merta dapat dipimpin dan digerakkan kinerjanya dengan model kepemimpinan transformasional,” terang Widodo.
Di akhir paparannya, Widodo menegaskan bahwa untuk membentuk pola kepemimpinan yang kuat dalam rangka menggerakan reformasi birokrasi di pemerintahan daerah,diperlukan beberapa kebijakan seperti: sistem dan kebijakan yang menjamin dilaksanakannya regenerasi kepemimpinan melalui proses kaderisasi, sistem dan kebijakan yang menjamin pelaksanaan rekrutmen atau pemilihan kepala daerah yang bersih dan meminimalisasi politisasi birokrasi serta adanya program pendidikan dan pelatihan kepemimpinan. (Humas UGM/Satria)