![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/0603141394071265901084939-680x510.jpg)
YOGYAKARTA – Sektor migas tidak hanya menjadi sumber pendapatan, namun juga beban bagi negara. Pasalnya pengelolaan sektor migas sangat tertutup. Hal ini menyebabkan publik tidak banyak tahu bagaimana panjanganya rantai nilai industri migas. Padahal, dari hulu sampai hilir terdapat potensi tindakan korupsi. “Kita selalu menekankan bahwa migas itu income, nyatanya bukan. Migas adalah aset, perlakuannya jelas berbeda,” ungkapnya Firdaus Ilyas, S.T dari Indonesian Corruption Watch pada seminar “Memberantas Korupsi Sektor Minyak dan Gas” di Ruang Multimedia Lt.3 Fakultas Hukum UGM, Kamis (6/3).
Ia juga menunjukkan bukti kekurangan penerimaan negara pada beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sepanjang 2010 hingga 2012. Pada tahun 2012 kekurangan penerimaan negara pada tujuh KKKS mencapai nilai 372 miliar. Padahal pada data audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang ia bawa, terdapat berbagai temuan lain. Diantaranya temuan rantai suplai pengadaan. “Waktu itu BPK menemukan bahwa BP MIGAS tidak memiliki formula harga yang paling efisien untuk work over rig service sehingga menimbulkan potensi ketidakwajaran nilai pengadaan,” ujarnya. Menurutnya kasus suap mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, merupakan bagian kecil dari karut marut penyimpangan industri migas di Indonesia.
Fenomena ini juga diamini Direktur Pukat Korupsi UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M yang menceritakan pengalamannya saat melakukan riset mengenai korupsi. Ia menemukan ada perusahaan yang membebankan cost recovery untuk operasional. Zainal mencoba menawarkan solusi terkait korupsi sektor migas. Ia berpendapat, bahwa pengelolaan migas menurutnya akan lebih baik jika ditangani oleh BUMN. “Kita selama ini terjebak bahwa BUMN pasti Pertamina, dan cenderung skepstis. Jika BUMN yang tidak baik, maka benahi BUMN-nya,” tuturnya.
Menurut Zainal, ide tersebut berangkat dari konstitusi UUD 1945 yang mengamanatkan sumber kekayaan alam dikuasai oleh negara. Konsep negara menguasai sumber kekayaan negara menurut Zainal terletak pada kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Baginya, hal tersebut saat ini terepresentasi pada BUMN. “Itikad saya, BUMN penting, tapi kalau kondisinya masih seperti sekarang, ya harus dibenahi dulu,” tuturnya.
Tidak cukup hanya itu, Zainal juga mengusulkan diperlukan penguatan pengawasan internal dan eksternal. Salah satunya dengan membuka akses pada publik untuk mengetahui kebijakan, memperbaiki audit cost recovery, dan penguatan BPK. “BPK harusnya lebih tegas dalam melakukan audit,” tegasnya.
Edi Suryanto, dari Ketua Bidang Gratifikasi KPK, mengatakan posisi sektor migas seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.Namun begitu, hanya sekitar 21,40% blok yang dimiliki Indonesia, sedangkan 78,59 % dikuasai asing. “Ini belum bicara jumlah produksi, angkanya mungkin bisa jauh lebih banyak lagi,” tuturnya.
Pakar Hukum Pidana UGM, Prof. Dr. Eddy O.S. Hiarej menuturkan tindak korupsi sektor migas selama ini melibatkan empat pihak; SKK migas, pemerintah, swasta, dan DPR. Namun jika ditelaah lebih lanjut yang jadi sumber permasalahan adalah para oknum anggota DPR. “Korupsi di Indonesia itu sebenarnya adalah legislative corruption,” tuturnya. (Humas UGM/Faisol)