Kebijakan penggunaan residen sebagai tenaga medik untuk menyeimbangkan tenaga kesehatan di daerah sulit telah dilakukan oleh Kementrian Kesehatan RI sejak tahun 2007. Program penugasan khusus residen tersebut diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan tenaga dokter spesialis terutama di daerah tertinggal Indonesia.
Kendati begitu, kebijakan tersebut dinilai belum mampu mengatasi keterbatasan dokter spesialis. Pasalnya pengiriman residen selama ini masih berbasis pendekatan secara individual sehingga sering terjadi kekosongan tenaga residen tertentu di rumah sakit daerah.
“Selama ini pengiriman residen masih dilakukan sendiri-sendiri sendiri belum ada koordinasi. Misalnya spesialis anak dikirim dari UGM, spesialis anestesi dari UI, spesialis kandungan dari UNDIP, spesialis bedah dari UNAIR ditempatkan dalam satu rumah sakit,” jelas Dwi Handono, Konsultan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMP) Fakultas Kedokteran (FK) UGM, dalam konferensi pers, Jumat (7/3) di FK UGM.
Penugasan residen secara individual tersebut, dikatakan Dwi mempersulit residen dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Misalnya, dalam penyusunan SOP maupun formulasi obat bagi pasien.
“Susah untuk menyatukan mereka dalam tim karena masing-masing universitas memiliki versinya masing-masing seperti menyusun SOP dan membuat formula suatu obat,” paparnya.
Selain itu, pengiriman secara individual memungkinkan terjadinya kekosongan tenaga residen pada kurun waktu tertentu. Guna mengatasi persoalan tersebut, menurut Dwi pengiriman residen sebaiknya dilakukan dengan pendekatan tim dan melalui institusi, bukan secara individu. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat menjaga keberlangsungan program dan meminimalisasi kekosongan tenaga residen.
“Sebenarnya cukup mengontrak satu institusi saja, contohnya RSUP Dr. Sardjito. Dengan cara ini tidak mungkin terjadi kekosongan karena lembaga yang bertanggungjawab,” ujarnya.
Penugasan dengan pendekatan tim tidak hanya meminimalisasi kekosongan tenaga residen dan mempermudah koordinasi di lapangan. Akan tetapi, penugasan tersebut juga memudahkan dalam melakukan pembinaan terhadap residen.
“Lebih efisien juga tentunya, pergi ke satu daerah tak hanya mensupervisi satu orang tapi banyak residen,” katanya.
Untuk mengkoordinasi pengiriman residen dan menjaga keberlanjutan program, dikatakan Dwi perlu dibentuk unit khusus pengiriman residen. Unit ini nantinya yang akan bertanggung jawab terhadap pengiriman, menjamin kepastian hukum, keamanan dan fasilitas residen selama bertugas.
“Belum banyak rumah sakit yang memiliki unit ini, sepertinya baru di Sardjito yang ada,” terangnya.
Dwi menambahkan FK UGM bersama dengan sembilan rumah sakit melakukan koordinasi bersama dalam pengiriman residen. Rumah sakit tersebut diantaranya RS Dr. Sardjito, RS Harapan Kita, RS Dr. Karyadi, RS Sanglah, RS Panti Rapih, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Saiful Anwar, dan RS Dr. Wahidin Sudirohusodo.
“Mulai tahun 2010 sampai sekarang UGM dengan 9 rumah sakit tersebut berkoordinasi mengirimkan residen ke 11 RSUD dan 11 kabupaten di NTT melalui program sister hospital. Pengiriman seperti ini diharapkan bisa menjaga keberlangsungan program pelayanan kesehatan di daerah, terutama di daerah sulit dan tertinggal,” urainya. (Humas UGM/Ika)