NGAWI – Fakultas Kehutanan UGM saat ini tengah mengembangkan agroforestri atau sistem pertanian tanaman pangan dan tanaman kehutanan yang ditanam di lahan yang sama. Dengan mengajak petani menanam padi gogo di lahan hutan jati dimaksudkan mendorong kesejahteraan mereka dalam pengelolaan hutan produksi. “Selain hasil panen yang lebih bernilai, masyarakat juga diuntungkan dengan menyimpan hasil panen untuk konsumsi sendiri,” kata Dr. Budiadi, S.Hut., M.Sc, peneliti Fakultas Kehutanan UGM, saat Panen Raya Padi Gogo di area hutan milik Perum Perhutani, Sidolaju KPH Kedunggalar, KPH Ngawi, Jawa Timur, Sabtu (8/3).
Budidaya padi gogo ini merupakan program kerjasama Fakultas Kehutanan UGM dengan Perum Perhutani KPH Ngawi. Di area hutan jati ini Fakultas Kehutanan mengembangkan sepuluh varietas padi. Namun saat ini, baru tiga varietas unggulan yang sudah dikembangkan lebih lanjut. Tiga varietas padi itu ialah Situpatenggang, Inpago 4, dan Inpari. “Ketiganya yang paling bisa beradaptasi,” jelas Budiadi.
Lebih lanjut, Budiadi mengungkapkan, pihaknya saat ini sedang berusaha mengembangkan pengelolaan lahan hutan jati pada area hutan jati yang lebih luas. Menurutnya, sambutan masyarakat petani lahan hutan sangat baik terhadap program agroforestri ini. Ia menambahkan, dari target tanam hanya 4 ha, saat ini mencapai 12 ha. “Rata-rata setiap hektar diolah empat orang, jumlah petani di sini sekitar 48 orang,” tuturnya.
Panen raya padi gogo di lahan hutan jati saat ini cukup baik. Wongsorejo, staf Fakultas Kehutanan UGM yang menjadi fasilitator petani mengungkapkan, Inpari menghasilkan 8 ton/ha, sementara varietas Inpago 4 sebesar 7,2 ton/ha dan varietas lain Situpatenggang 7 ton/ha. Karena lebih menguntungkan, tanaman lain seperti kedelai, jagung, wijen masih dibudidayakan oleh petani dengan cara sistem tumpang sari.
Meski begitu, imbuhnya, hasil panen tahun ini belum lebih baik dibandingkan tahun lalu. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya hujan abu vulkanik pada masa pembungaan kemarin. Selain kekurangan air di musim hujan, petani lahan hutan juga sulit mendapatkan pupuk. “Saat ini kan ada skema kuota pupuk untuk petani lahan basah (sawah-red), namun petani hutan tidak mendapat kuota, sehingga kesulitan mendapat pupuk,” keluhnya.
Meski hasil panen menurun, Maridin, petani asal Prujakan, Kedunggalang, Ngawi mengaku menanam padi gogo menjadi hal yang menguntungkan bagi masyarakat daerah hutan jati. Keuntungannya jauh lebih besar dibandingkan menanam tanaman lain seperti kedelai atau umbi-umbian. “Ampuh banget mas, saya tahun lalu waktu panen bisa beli mobil seharga 40 juta,” paparnya. Ia berharap, tim UGM dapat terus mendampingi petani lahan hutan jati Ngawi. [Humas/Faisol]