Proses reformasi telah memberikan nikmat kebebasan, namun secara prinsip civil society telah pula menghasilkan masyarakat yang beringas dan anarkis. Bahkan, kebebasan tersebut terkadang jauh dari nilai-nilai keadaban.
Dalam proses reformasi hukum, berbagai produk hukum berupa undang-undang telah dihasilkan. Beberapa kemajuan pun telah dicapai, misalnya dengan ditentukan kekuasaan Komisi Yudisial pada Pasal 24a atau kekuasaan Mahkamah Konstitusi pada Pasal 24c. Namun karena UUD Negara RI Tahun 1945 hasil amandemen mendasarkan pada khitah liberalisme, produk peraturan perundang-undangan tersebut tidak menyentuh peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dalam penilaian Prof. Dr. Kaelan, M.S., berbagai produk undang-undang saat ini tidak seperti yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, sebagai staatsfundamentalnorm yang esensinya dasar filosofi negara Pancasila. “Disinilah persoalan mendasar tentang apakah politik kita dewasa ini berkeadaban atau jauh dari keadaban,” ujarnya saat menjadi pembicara pada Seminar “Filsafat Politik Indonesia Untuk Pemilu Yang Berkeadaban”, yang diselenggarakan Laboratorium Filsafat Nusantara, Fakultas Filsafat UGM, di University Club, Selasa (11/3).
Menurut Kaelan, pasca reformasi selama 15 tahun, Pancasila sebagai dasar filosofi dan pandangan hidup bangsa Indonesia telah dikubur hidup-hidup oleh bangsanya sendiri dengan dipelopori para kalangan elit reformasi. Hal ini diikuti dengan melakukan suatu reformasi fundamental di berbagai bidang, antara lain politik, hukum, ekonomi dan bidang-bidang lainnya.
Sayang, reformasi yang dilakukan dengan membungkam dasar filosofis negara sendiri, yakni dasar filosofis yang telah dikembangkan dan diperjuangkan oleh founding fathers di saat bangsa dijajah bangsa asing. “Karena itu, tidak mengherankan jika demokrasi dewasa ini yang kuat menindas yang lemah, yaitu yang kuat kekuasaannya, yang kuat kekayaannya, yang kuat kapital dan modalnya, serta yang kuat kepopulerannya”, katanya.
Akibatnya, sulit dikatakan bahwa Pemilu bulan April 2014 mendatang sebagai suatu proses demokrasi. Sebab pada kenyataannya, demokrasi di Indonesia hanya dinikmati kalangan kaya, kapitalis, dan elit negara, sementara rakyat tidak menikmati kedaulatan. “Karena itu, mungkinkah demokrasi dewasa ini disebut berkeadaban jikalau tidak memberikan ruang kelompok kecil, kalangan etnis minoritas, suku, ras, golongan, agama, daerah, kelompok adat dan sebagainya,” papar Kaelan sembari bertanya.
Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ mengungkap etika politik yang dibutuhkan saat ini adalah politik dan etika yang dapat memberdayakan bangsa Indonesia dalam mengatasi tantangan-tantangan. Ada lima tantangan serius yang harus dihadapi Indonesia, yaitu ambruknya toleransi tradisional, budaya konsumisme hedonistik, ambruknya solidaritas bangsa, ekstremisme keagamaan dan korupsi.
Bagi Magnis Suseno, korupsi menjadi ancaman terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia. Pasalnya korupsi telah menggerogoti substansi moral, substansi sosial, dan kompetensi-kompetensi yang dimiliki bangsa.
Fatalny, korupsi telah membuat perilaku tidak jujur dari atas hingga ke bawah. Orang tidak jujur, tidak tahu lagi tentang apa itu keadilan, iapun tidak tahu arti tanggungjawab.
“Orang pun tidak lagi meminati mutu output-nya. Kompetensi-kompetensi yang barangkali dimiliki menjadi tidak efektif karena bukan kualitas output-nya, melainkan keuntungan pribadi yang menjadi motivasinya. Karena itu jika tidak berhasil memberantas korupsi, negara ini akan gagal,” ucapnya.
Drs. Charris Zubair, M.Si, memberikan penilaian yang sama. Bahwa telah terjadi disorientasi nilai dan hilangnya pegangan di kalangan elit dan masyarakat. Gerakan reformasi dalam banyak kasus terkooptasi oleh partai politik demi mengejar kepentingan sempit dan jangka pendek.
“Terjadi kerapuhan bingkai yuridis dan kelembagaan. Kita harus mengakui amandemen UUD 1945 telah menciptakan inkonsistensi antara landasan filosofis dan ideologis dengan aturan dasar tentang bentuk, susunan, dan tata penyelenggaraan pemerintahan negara; bahkan telah melahirkan anomali konstitusi,” tutur Charis Zubair. (Humas UGM/ Agung)