Kemampuan menguasai dan mengembangkan teknologi merupakan salah satu komponen penting dalam menentukan keberhasilan suatu negara untuk tumbuh lebih cepat dari negara-negara lain. Bagi Indonesia sebagai negara berkembang, kemampuan menguasai dan mengembangkan teknologi dapat menjadi bekal dalam upaya mengurangi ketertinggalan dari negara-negara maju.
Indeks kapasitas teknologi yang dianalisis oleh tim peneliti dari Kelompok Kerja untuk Daya Saing Indonesia (KKDSI) Universitas Gadjah Mada memperlihatkan bahwa penguasaan teknologi Indonesia masih rendah. Secara keseluruhan, Indonesia hanya berada di peringkat ke-57 dari 61 negara, kalah dari negara-negara tetangga seperti Singapura yang berada di peringkat ke-13, Vietnam peringkat ke-45, Malaysia peringkat ke-46 dan Thailand di peringkat ke-51.
“Peringkat pertama ditempati Amerika Serikat, sedangkan peringkat ke-2 dan ke-3 masing-masing ditempati oleh Korea Selatan dan Jepang,” ujar Akhmad Akbar Susamto, Koordinator KKDSI UGM, Kamis (13/3) saat menjelaskan hasil analisis terkait penguasaan dan pengembangan teknologi di Indonesia.
Demikian pula dengan kemampuan Indonesia dalam mengembangkan teknologi, kata Akbar, indeks kapabilitas inovasi Indonesia berada di peringkat ke-56 dari 61 negara. Meski unggul dari Filipina dan Vietnam yang berada di peringkat ke-57 dan 60, namun Indonesia masih kalah jauh dari Singapura yang menempati peringkat ke-5, Thailand di peringkat ke-16 dan Malaysia yang menempati peringkat ke-31. Sementara, Finlandia menempati peringkat pertama, disusul Korea Selatan dan Swedia.
Akbar menjelaskan, indeks kapasitas teknologi merupakan sebuah indeks komposit yang terdiri atas tiga indikator, yaitu banyaknya publikasi ilmiah di jurnal-jurnal internasional per-1000 penduduk, jumlah paten yang didaftarkan oleh residen per-1000 penduduk, dan besarnya total pendapatan yang diterima dari ijin pemanfaatan kekayaaan intelektual. Sedangkan indeks kapabilitas inovasi mencakup tujuh indikator yang masing-masing menunjukkan ketersediaan sumberdaya manusia ahli dan intensitas penelitian di suatu negara, baik yang dilakukan oleh pemerintah, perguruan tinggi maupun dunia usaha.
“Secara teknis, perhitungan indeks kapasitas teknologi dan indeks kapabilitas inovasi dilakukan dengan menentukan rata-rata nilai standar, standardized value, dari semua indikator,” papar Akbar di KKDSI UGM.
Terkait hal itu, menurut Akbar, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah serius dalam rangka meningkatkan kemampuan Indonesia dalam penguasaan dan pengembangan teknologi. Diantaranya adalah dengan menambah alokasi dana pemerintah untuk penelitian sekaligus memberikan insentif bagi dunia usaha untuk kegiatan riset. Data terakhir dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan) memperlihatkan alokasi dana pemerintah Indonesia untuk penelitian hanya sekitar 0,05 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Alokasi dana penelitian oleh perguruan tinggi hanya 0,03 persen dari PDB, sementara alokasi dana penelitian oleh dunia usaha nyaris mendekati nol persen dari PDB”, tandasnya.
Karena itu, pemerintah perlu menata ulang pengelolaan penelitian di Indonesia agar lebih sinergis. Sebab bukan rahasia lagi, bila selama ini telah terjadi tumpang-tindih antarlembaga penelitian. Data Dewan Riset Nasional mencatat terdapat 622 lembaga penelitian di Indonesia, sebanyak 114 lembaga penelitian di perguruan tinggi negeri, 301 di perguruan tinggi swasta, 8 di Badan Usaha Milik Negara, 8 Badan Usaha Milik Swasta, 76 lembaga penelitian di bawah kementerian, 91 lembaga penelitian non-kementerian dan 24 lembaga penelitian pembangunan daerah.
“Kita menilai, masing-masing lembaga penelitian tersebut bekerja tanpa regulasi dan koordinasi yang jelas. Meskipun diperlukan kajian lanjutan, pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi bisa menjadi salah satu opsi dalam penataan ulang pengelolaan penelitian di Indonesia,” kata Akbar. (Humas UGM/ Agung)