Perempuan terjun ke politik bukan semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan keterwakilan 30% perempuan di parlemen. Lebih dari pada itu, hadirnya perempuan di lembaga legislatif diharapkan mampu membawa aspirasi masyarakat yang betul-betul murni berangkat dari kondisi riil di lapangan, tidak hanya sekedar memenuhi kepentingan politik kelompok partai yang mengusung.
“Saya mau terjun ke dunia politik berangkat dari kegelisahan saya sebagai masyarakat,” ujar Maya Sila, salah satu Caleg DPRD Sleman dari Partai Golkar dalam seminar “Tantangan dan Kiprah Calon Legislatif Perempuan dalam Pemilu 2014”, Kamis sore (13/3), di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM.
Maya berkisah, sebelum dirinya terjun ke politik, Ia sempat menjadi golongan putih karena tidak lagi percaya dengan sistem politik yang ada di Indonesia. “Setiap pencoblosan saya lebih memilih pergi bersama anak-anak dan suami,” kata Maya.
Namun hal itu berbalik arah saat Ia menjadi Direktur Eksekutif di sebuah badan promosi wisata di Kabupaten Sleman. Menurutnya, sistem anggaran dan pengelolaan keuangan yang tidak akuntabel mengusik nuraninya. “Banyak kejanggalan yang saya temukan, mulai dari penggunaan dana yang tidak efisien, sampai tupoksi kerja yang tidak semestinya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Maya menceritakan keprihatinannya terhadap sistem manajerial pemerintahaan saat itu. “Dalam laporan tahunan, saya sudah menandai beberapa kejanggalan yang saya harapkan menjadi perhatian BPK. Namun tidak ada respon yang baik,” tuturnya.
Maya juga menerangkan, dalam sistem anggaran, selagi bisa menunjukkan dokumen pendukung penggunaan anggaran tidak akan jadi masalah. Kegelisahan akibat berbagai persoalan dari pengalamannya itulah yang mendorong Maya maju dalam pemilihan umum 2014 ini. “Saya mulai berpikir, jika saya ingin memperbaiki sistem, maka saya harus masuk sistem itu,”
Senada dengan Maya Sila, Yuliana, S.E., caleg DPRD DIY dari partai Gerindra menyampaikan kemantapan dirinya untuk maju dalam Pemilu 2014 karena ingin menunjukkan pada lingkungannya, bahwa perempuan juga dapat berkiprah. “Kita harus bisa jadi figur teladan bagi perempuan lain,” ungkapnya.
Sebagai caleg, Yuli menekankan pada pentingnya keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan. Ia bercerita, berbagai aktivitasnya di luar rumah tidak mengganggu tanggung jawabnya sebagai seorang istri dan ibu. “Kepercayaan keluarga itu sudah terpatri dalam hati, sehingga saat menjalankan aktifitas, keluarga tidak khawatir,” kisahnya.
Jika dua pembicara sebelumnya baru pertama masuk dunia politik, berbeda dengan Esti Wijayanti, caleg DPR RI dari Partai PDIP. Esti sudah menjabat anggota legislatif selama tiga periode di DPRD Kabupaten Sleman dan dua periode di DPRD DIY. Bagi Esti, menjadi anggota DPR memberikan kesempatan baginya untuk menolong orang lebih banyak. “Dengan menjadi anggota legislatif, saya bisa menolong lebih banyak masyarakat melalui kebijakan yang dihasilkan,” paparnya.
Esti banyak bercerita saat ia melakukan kunjungan ke derah-daerah. Dalam penjelasannya, ia menyoroti dua hal; pendidikan dan kesehatan. Menurut Esti, angka kesenjanggan antardaerah di Yogyakarta masih sangat tinggi. Misalnya, kondisi fasilitas kesehatan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul. “Wilayah Gunung Kidul mencapai 50% wilayah DIY, namun jumlah Rumas Sakit paling sedikit,” katanya.
Esti juga menambahkan, Peraturan Bupati Sleman tentang Jaminan Pembiayaan Pendidikan Daerah merupakan salah satu bentuk kontribusinya dalam bidang pedidikan. “Di kabupaten Sleman sudah tidak boleh lagi ada anak putus sekolah karena tidak ada biaya,” tuturnya. [Humas UGM/Faisol]