![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/13031413946875221640104376-680x510.jpg)
YOGYAKARTA – Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Dr. Ir. Andang Bachtiar, M.Sc., mengungkapkan Indonesia sebenarnya tidak mengalami krisis energi karena belum semua potensi sumber energi di dalam perut bumi yang berhasil dieksplorasi. Dia pun menyangsikan data yang ada saat ini mengenai cadangan energi nasional. “Limabelas tahun terakhir ini seolah-olah kita tidak punya apa-apa untuk eksplorasi. Eksplorasi justru kita limpahkan pada asing, apa gunanya kita belajar di kampus-kampus?” tegasnya dalam seminar bertajuk “Proyeksi Kedaulatan Migas Indonesia sebagai Fondasi Ketahanan Energi Nasional” belum lama ini di Auditorium MM UGM.
Andang bercerita, sejak ia kuliah di ITB tahun 1978 dulu, dia juga diberitahu oleh dosennya bahwa cadangan energi di tanah air tinggal 15 tahun lagi. “Tapi nyatanya, sekarang masih saja diramalkan tinggal 11 tahun lagi,” imbuhnya.
Menurutnya pemerintah bukan hanya menghadapi persoalan krisis cadangan energi, namun belum tahu lebih jauh apa yang ada di dalam bumi. Andang menjelaskan, sesungguhnya Indonesia masih memiliki banyak wilayah yang belum dieksplorasi. Ia menyebut 41 cekungan di Indonesia belum diekplorasi. “Kita terlalu takut untuk melakukan eksplorasi, alasannya selalu budget yang besar. Padahal, eksplorasi tidak hanya pengeboran, riset pencariannya hanya membutuhkan sekitar 5% dari total dana eksplorasi,” jelasnya.
Sementara Guru Besar Fakultas Teknik UI, Prof. Dr. Ir. Iwa Garniwa, MK., MT, menyangsikan cadangan energi Indonesia bisa mencukupi kebutuhan energi Nasional jika masih dikelola seperti sekarang. Pasalnya, dari cadangan gas yang ada, 50% hasil produksinya diekspor. Sementara itu, persoalan kekurangan energi dalam negeri diselesaikan dengan minyak. “Kita ini, sudah produksi rendah, ekspor pula,” tegasnya.
Menurut Iwan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencapai ketahanan energi nasional. Baginya, mengubah paradigma sumber daya energi dari komoditas menjadi aset pembangunan merupakan hal pertama yang harus dilakukan. Selain itu, dibutuhkan kebijakan yang dapat mendorong pengembangan sumber energi lain.
Senada dengan pemaparan Iwa, Chairman Schlumberger Group, Ir. Ahmad Yuniarto, mengungkapkan 23% belanja APBN digunakan untuk subsidi energi. Dengan target pertumbuhan ekonomi saat ini justru subsidi tersebut akan berdampak pada pertumbuhan kebutuhan energi sebesar 6-7% setiap tahunnya. “Jika dihitung secara statistik, tahun 2025 kita akan butuh 8,9 juta barel/hari. Sementara saat ini, kita hanya mampu memproduksi sekitar 2 juta barel/hari,” imbuhnya.
Pengamat Ekonomi, Faisal Basri, menilai pengelolaan energi saat ini masih terkendala sistem Production Sharing Contract (PSC) dengan keuntungan pemerintah-pengelola 85 : 15, sedangkan cost recovery 64 : 36. Baginya, ini tidak begitu menguntungkan. “Mestinya negara bisa mendapatkan untung lebih dari itu,” pungkasnya (Humas/Faisol)