
Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi UGM meminta masyarakat untuk bersikap cerdas dalam memilih calon anggota legislatif dan eksekutif dalam pemilu 2014 mendatang. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak terjebak memilih kembali politisi maupun partai politik yang justru banyak melakukan praktik korupsi.
“Jangan pilih lagi caleg yang sudah menjabat sebelumnya dalam parlemen yang terbukti maupun terindikasi korupsi,” tegas Hifdzil Alim, peneliti PUKAT Korupsi UGM, Rabu (19/3) dalam pemaparan hasil penelitian Korupsi Partai Politik 2009-2014 di Tingkat Nasional dalam Potret Media.
Hifdzil menuturkan bahwa banyaknya anggota DPR yang kembali mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam pemerintahan mendatang merupakan sebuah ancaman yang cukup serius. Pola semacam ini akan semakin memperbesar perilaku korupsi dalam periode pemerintahan kedepannya.
“Sembilan puluh persen anggota dewan saat ini maju lagi jadi caleg. Ini jadi ancaman yang serius,” katanya.
Oleh sebab itu, Hifdzil menegaskan masyarakat harus berhati-hati dan cerdas dalam memilih calon pemimpin nantinya. Apabila terjadi kesalahan dalam menjatuhkan pilihan akan berdampak terhadap nasib bangsa selama lima tahun kedepan.
“Pemilih harus benar-benar paham mana yang bagus mana yang tidak. Kalau sampai keliru pilih parpol maka kebijakan-kebijakan di DPR akan buruk,” terangnya.
Ditambahkan Hasrul Hanif, peneliti PUKAT Korupsi UGM lainnya, kesadaran memilih calon anggota legislatif maupun eksekutif yang bersih dari korupsi menjadi penting. Pasalnya hal tersebut akan menentukan situasi korupsi pada periode terpilih berikutnya.
“Calon pemilih harus mengetahui integritas pejabat legislatif dan eksekutif khususnya yang kembali mencalonkan diri dalam pemilu depan,” jelasnya.
Ia berharap masyarakat tidak hanya jeli dalam melihat sisi individu calon pemimpin yang akan dipilih. Masyarakat juga diharapkan melihat kecenderungan tindak korupsi dari setiap partai politik.
“Calon pemilih harus tahu tidak hanya pada orang perorang, tetapi juga kecenderungan korupsi perpartai politik. Jangan pilih lagi politisi dan partai yang korup sebagai bentuk hukuman bagi mereka,” terangnya.
Hasrul menyampaikan pembenahan dalam tubuh partai politik perlu dijalankan untuk mencegah korupsi. Pembenahan yang dilakukan antara lain meliputi perbaikan pendanaan partai politik hingga perbaikan sistem politik.
“Sejumlah kasus korupsi yang terjadi, misalnya saja kasus Hambalang, ada indikasi uang hasil korupsi dipakai untuk kegiatan parpol,”ujarnya.
Sementara Zaenur Rohman memaparakan dari hasil penelitian yang dilakukan PUKAT Korupsi UGM terhadap partai politik 2009-2104 dalam bingkai media diketahui terdapat keterlibatan kader partai politik yang menduduki jabatan publik dalam praktik korupsi.
“Tidak satu pun parpol yang memiliki kader yang menduduki jabatan publik yang tidak memiliki kaitan dengan praktik korupsi,” paparnya.
Partai Demokrat menjadi partai dengan prosentase paling besar dalam dugaan korupsi (28,40%) dan menjalani proses hukum (2,70%). Diikuti Partai Hanura dengan dugaan korupsi (23,50%) namun belum ada yang diproses secara hukum. Berikutnya PDIP dengan dugaan korupsi (18,08%) dan menjalani proses hukum (1,06%), PKS dugaan korupsi (17,24%) dan menjalani proses hukum (1,72%), Parti Golkar dengan dugaan korupsi (16,03%) dan manjalani proses hukum (1,89%), PAN dengan dugaan korupsi (15,22%) dan menjalani proses hukum (2,17%). Selanjutnya PKB dengan dugaan korupsi (14,2%), PPP dengan dugaan korupsi (13,16%), dan terakhir Partai Gerindar adengan dugaan korupsi (3,85%).
Temuan lainnya menunjukkan bahwa terdapat lima modus dalam tindak korupsi. Diantaranya, modus penyuapan seperti dalam kasus pengadaan Al Qur’an di Kementrian Agama yang dilakukan Zulkarnaen Djabar, modus pemerasan seperti dalam kasus yang menimpa sejumlah BUMN, modus merugikan negara seperti dalam kasus proyek Hambalang. Kemudian modus memperdagangkan pengaruh pada kasus impor daging sapi, dan modus penyalahgunaan wewenang dalam berbagai kasus korupsi oleh anggota DPR. (Humas UGM/Ika)