![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/2003141395278632297867619-346x510.jpg)
Pengamat politik UGM, Ari Dwipayana melihat model koalisi yang berkembang dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan perilaku partai dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh upaya memburu jabatan (office seeking). Perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang dalam memperoleh posisi di kabinet-pemerintahan yang akan terbentuk. Ia mencontohkan koalisi dalam Pilpres 2009: Partai Demokrat, PAN, PKB, PPP, PKS, PPP dan selanjutnya ditambah Partai Golkar (pasca-Pilpres).
“Meskipun demikian koalisi di tingkat nasional berbeda denga pola koalisi di lokal pada saat pemilukada,” papar Ari pada diskusi “Pemilu Nir Ideologi Politik?” di MAP UGM, Selasa (18/3) sore.
Menurut Ari akan menarik dalam melihat kemungkinan koalisi Pilpres 2014 terutama gagasan mendorong munculnya koalisi poros tengah jilid dua. Dalam memilih mitra koalisi, elite partai politik cenderung didorong oleh keinginan untuk memaksimalkan proses negosiasi dalam power sharing. Itulah sebabnya muncul manuver di internal partai untuk merapat pada kandidat yang potensial menang dalam pilpres. Pasca-Pilpres kemungkinan terjadi perubahan konstelasi politik internal partai sebagai akibat perbedaan posisi dukungan dalam Pilpres.
“Hal ini nampak mulai menggejala di Partai Golkar. Pertarungan akan lebih mengarah pada perebutan posisi Ketua Umum Partai,” imbuhnya.
Pada diskusi tersebut Ari Dwipayana menjelaskan bahwa di tengah berkembangnya sistem multipartai saat ini, pertanyaan yang sering muncul adalah apa yang membedakan antara satu partai dengan partai lainnya. Multipartai bisa saja dihitung dari sisi jumlah partai yang semakin banyak, namun apakah ”banyak” menunjukan ”perbedaan”?
Ari mengatakan dalam konteks mencari ”perbedaan” dan ”persamaan” tipologi kepartaian, bisa diklasifikasikan perilaku partai di Indonesia dengan menggunakan tiga dimensi, yaitu pencari-suara (vote-seking), pencari-jabatan (ofice-seeking), dan pencari-kebijakan (policy-seeking). Vote seeking, yaitu membuat partai hanya hadir pada saat momen-momen pemilihan, baik pemilu lokal maupun pemilu nasional. Dan dalam banyak hal, perilaku partai juga sangat dipengaruhi oleh logika pemilihan (elektoralis), seperti menjadi lebih berorientasi catch all party dibandingkan ideologis-kebijakan. Seementara itu, orientasi office seeking membuat perilaku partai lebih pragmatis-jangka pendek terutama dalam mengejar posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Kosekuensinya, partai-partai tidak bisa dibedakan satu dengan yang lainnya dari sisi orientasi kebijakannya.
“Modus pencari suara menyebabkan perilaku partai lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan. Modus untuk menang itulah yang membuat partai membuka diri pada siapa saja yang ingin masuk (catch all), asal kemenangan dalam Pileg dan Pilpres bisa diraih,” pungkasnya. (Humas UGM/Satria)