Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Ekslusif memberikan angin segar bagi para ibu untuk bisa memberikan asi eksklusif kepada anaknya. Selain itu, kebijakan ini juga menjamin pemenuhan hak anak untuk memperoleh sumber makanan terbaik hingga berusia enam bulan. Kendati begitu peraturan pemerintah ini belum sepenuhnya memperhatikan kebutuhan dan hak wanita.
Desintha Dwi Asriani, S.Sos., M.A., Sosiolog UGM menyebutkan kebijakan program ASI eksklusif sebagai sesuatu yang bersifat teknis yang memposisikan wanita hanya menjadi obyek atas tubuhnya sendiri. Hal itu menjadikan wanita tidak memiliki hak atas dirinya.
“Sebagian besar kebijakan lebih merujuk pada subjek anak untuk dipenuhi haknya mendapat ASI eksklusif. Sementara wanita ditempatkan seolah-oleh sebagai target/objek yang wajib meningkatkan kesejahteraan anak melalui pemberian ASI eksklusif,” terangnya Kamis (20/3) dalam diskusi Perempuan dan Politik Tubuh di Gedung Masri Singarimbun PSKK UGM.
Desintha mengatakan sampai saat ini belum banyak wacana yang berkembang di masyarakat tentang bagaimana wanita bisa terpenuhi haknya agar dapat menyusui dengan nyaman. Baik melalui pemberian cuti yang panjang maupun pemenuhan fasilitas yang mendukung pemberian ASI eksklusif.
“Wacana yang ada adalah pemberian ASI eksklusif demi kelangsungan kesehatan anak. Kalau ibu tidak bisa menyusui dengan baik dianggap tidak baik,” katanya.
Selain menjadikan wanita sebagai objek, kebijakan itu dikatakan Deshinta justru memberikan tekanan secara psikologis bagi wanita. Pasalnya menjadikan menyusui eksklusif sebagi kewajiban akan memunculkan dampak secara kultural yang memaksa wanita untuk dapat memberikan ASI dalam situasi apapun.
“Yang mencengangkan dalam PP ini adalah menyusui itu kewajiban. Wanita seperti dipaksa untuk bisa menyusui apapun kondisinya. Padahal menyusui itu adalah hak wanita,” jelasnya.
Menurutnya dengan ditetapkannya pemberian ASI eksklusif sebagai kewajiban berdampak terhadap pemenuhan hak wanita untuk menyusui secara ekslusif. Tidak sedikit wanita yang tidak bisa menyusui karena tidak ada dukungan hanya bersikap pasrah.
“Karena jadi kewajiban jadi banyak yang pasrah kalau tidak bisa menyusui karena tidak ada dukungan lingkungan sehingga program ini kurang efektif,” ujarnya.
Ia mencontohkan sejumlah negara seperti Australia, Jepang, Skandinavia, Swedia, dan Norwegia berhasil menjalankan program pemberian ASI eksklusif karena tingginya kesadaran masyarakat dan dukungan semua pihak terhadap pentingnya program itu. Salah satunya dengan memberikan waktu cuti tidak hanya bagi para ibu tetapi juga ayah ASI.
“Di Skandinavia ayah ASI diberi cuti satu tahun dan tetap dibayar,” terangnya.
Dikatakan Deshinta bahwa menyusui bukan persoalan sederhana. Hal itu tidak hanya semata-mata dipandang sebagai aktivitas memberikan ASI untuk anak. Namun, ketika menyusui wanita dihadapkan dengan banyak hal yang harus dinegosiasikan.
“Wanita harus bisa menekan ego pribadinya, banyak yang mesti dinegosiasikan. Belum lagi dihadapkan dengan persoalan kultural dan struktur yang kurang mendukung pemberian ASI esklusif. Jadi kalau program mau sukses butuh komitmen semua pihak untuk mendukung ibu menyusui,” paparnya.(Humas UGM/Ika)