Tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu mengalami penurunan di setiap periode. Di tahun 1999 tingkat partisipasi pemilih mencapai 92 persen, menurun menjadi 82 persen di tahun 2004, dan di tahun 2009 sebanyak 72 persen. Penurunan tingkat partisipasi ini tentu sangat disayangkan, karena satu suara ditengarai memberi pengaruh pada masa depan Indonesia.
“Masyarakat dalam hal ini dihimbau dapat menggunakan hak suaranya dengan cerdas dan tidak asal pilih pemimpin,” papar Farid B. Siswantoro, dari KPU Yogyakarta, pada diskusi “Mencari Pemimpin untuk Negeri” di ruang 307 gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Sabtu (22/3)
Farid menjelaskan ketentuan syarat suara sah pada pemilu legislatif 2014 berbeda dengan priode-periode sebelumnya. Sebab suara sah untuk partai belum tentu sah untuk calon legislatif (caleg). Suara sah untuk caleg dinyatakan jika mencoblos di salah satu nama caleg. Sementara bila si pemilih mencoblos lebih dari satu caleg dalam satu partai maka suara tersebut akan diakumulasikan ke partai tanpa menentukan siapa caleg pilihannya.
“Sedangkan suara dinyatakan tidak sah jika mencoblos lebih dari sekali di kolom partai yang berbeda”, katanya.
Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum menyarankan agar pemilih bisa mengenali calon legislatif. Maka, sebelum menentukan pilihan pemilih bisa mengenal lebih dalam track record para caleg.
“Mahasiswalah yang dituntut bisa memulai hal ini karena mereka adalah pemilih cerdas, memilih berdasarkan kualitas caleg secara kinerja dan akhlak,” jelas Farid.
Dalam diskusi yang digelar Departemen Pengkajian Ilmiah, Himpunan Mahasiswa Muslim (Himmpas) UGM, Farid berharap partisipasi mahasiswa yang sedang menempuh kuliah di Yogyakarta untuk Pemilu kali ini. KPU Yogyakarta memfasilitasi mahasiswa yang ingin melakukan pemilu di Yogyakarta dengan mendatangi KPU Kabupaten/Kota. Syarat yang diperlukan sangat mudah, mahasiswa bersangkutan hanya membawa KTP dan satu lembar fotocopy-nya dan tidak boleh diwakilkan.
“Form A5 akan dibuatkan langsung oleh pihak KPU setempat, sehingga mahasiswa sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Yogyakarta. Hanya saja caleg yang dapat dipilih oleh mahasiswa merupakan caleg yang ada di DIY bukan caleg dari daerah asal,” ujarnya.
Jazir ASP, aktivis di Pusat Studi Pancasila menyatakan sulit mencari pemimpin yang sungguh ideal di masa sekarang ini. Bangsa Indonesia yang mestinya menjadi bangsa merdeka, kenyataan bukan sebagai bangsa leader namun bangsa dealer. Indonesia yang semestinya menjadi master, kenyataan hanya sekedar menjadi master of ceremony.
“Bagaimanapun, realita yang saat ini harus kita hadapi. Kenyataan Indonesia telah berkembang menjadi negara demokrasi liberal imperialis. Sadar atau tidak, sumber daya alam yang ada di Indonesia, hampir semua telah dimiliki pihak asing. Mulai dari sumber daya minyak, batu bara, perikanan bahkan telekomunikasi,” kata Jazir.
Jazir menilai, potensi bangsa Indonesia belum sepenuhnya mendapat dukungan pemerintah. Bahkan pemerintah malah mengebiri, semisal janji para pimpinan terkait kebangkitan teknologi. Mobil Esemka, contohnya saja, yang sempat booming pada akhirnya tetap kalah dari perusahaan mobil raksasa milik Jepang.
“Kita lihat saja, setelah mereka menjabat sebagai pemimpin akhirnya lupa untuk memenuhi janjinya,” ungkapnya.
Ditambahkan Jazir, konstitusi Indonesia sudah berubah dari idealisme bangsa. Nilai-nilai Pancasila sudah kabur di masyarakat, dan sistem yang ada sudah sangat rusak. Dalam pemilu kali inipun, katanya, Indonesia bisa saja mendapatkan presiden namun belum tentu presiden terpilih nantinya seorang sosok pemimpin.
“Kita hanya bisa memilih orang yang lebih sedikit keburukannya, karena sistem yang ada di negara ini sudah terlanjur parah,” imbuhnya. (Humas UGM/Agung)