Sebagai kawasan yang pluralistik, multietnik, dan multiagama, Asia Tenggara merupakan kawah candradimuka dalam pengelolaan keberagamaan agama dan multikulturalisme. Di satu sisi, agama bisa menjadi modal sosial bagi upaya mewujudkan transformasi sosial yang positif di kawasan ini. Namun di sisi lain, semakin kuatnya pengaruh agama di ranah publik ternyata menghadapkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini pada persoalan pelik keberagaman agama dan multikulturalisme. Alih-alih terciptanya transformasi sosial yang positif, situasi ini malah melahirkan berbagai persoalan sosial seperti intoleransi, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan konflik sosial-keagamaan.
“Dengan karakteristik yang plural dan beragam tersebut, negara-negara di Asia Tenggara mempunyai pengalaman yang unik dalam mengelola keberagaman agama, yang bisa menjadi pengalaman berharga bagi negara-negara lain,” kata Dicky Sofjan, Principal Investigator pada Konferensi Internasional dalam konferensi tentang “Agama, Kebijakan Publik, dan Transformasi Sosial di Asia Tenggara”, Kamis (20/3) di The Phoenix Hotel, Yogyakarta. Acara tersebut diadakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), yang beranggotakan UGM, UIN Sunan Kalijaga, dan UKDW.
Ia menjelaskan bahwa konferensi ini bertujuan untuk memberikan platform bagi akumulasi pemikiran dan pengetahuan tentang pengelolaan keberagaman agama baik di tingkat nasional maupun regional. Acara menghadirkan para ahli agama di Asia Tenggara dan Amerika Serikat yang terlibat dalam riset kolaboratif Sembilan Negara tentang Agama, Kebijakan Publik, dan Transformasi Sosial di Asia Tenggara. Sembilan negara Asia Tenggara tersebut, yaitu Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, Myanmar, Kamboja, dan ditambah Amerika Serikat.
“Semakin pentingnya isu-isu agama dalam penentuan kebijakan publik dan transformasi sosial di negara-negara Asia Tenggara, pada gilirannya akan berpengaruh terhadap hubungan dengan negara-negara lain di luar kawasan, khususnya dengan Amerika Serikat,” paparnya.
Sementara itu Theodore Lyng, Penasihat Politik Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengatakan bahwa konferensi ini bisa menjawab pertanyaan bagaimana nilai-nilai agama bisa masuk ke ranah kebijakan publik dan relasi antarbangsa tanpa harus melahirkan dominasi dan apalagi kekerasan.
”Para peneliti memaparkan hasil penelitiannya selama setahun tentang pengelolaan keberagaman agama di negaranya masing-masing, seperti isu pluralisme agama dan hubungannya dengan pendidikan agama dan multikulturalisme, kesenjangan mayoritas-minoritas, politik dominasi dan isu-isu terkait lainnya,” kata Lyng.
Hasil penelitian yang dipresentasikan dalam konferensi ini nantinya akan dibukukan dalam bentuk Policy-Relevant Papers. Selain itu, hal ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan publik yang mengarah pada terwujudnya transformasi sosial di Asia Tenggara. (Humas UGM/Satria)