YOGYAKARTA – Guru Besar Emiritus Sosiologi Amstredam Institute, Belanda, Prof. Jan Breman, meluncurkan buku tentang sejarah perlawanan rakyat Sunda dalam menolak kerja tanam paksa yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda di masa lalu. Mereka melakukan perlawanan dengan menolak menanam kopi di tanah Priangan sepanjang awal abad 17 dan 18. Buku yang berjudul Keuntungan Kolonial dan Kerja Paksa: Sistem Priangan dari tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 ini mengisahkan bagaimana Belanda memaksa rakyat sunda untuk menanam kopi.
Meski akhirnya banyak yang menanam kopi, dibuktikan pada awal abad 19, tanah Pasundan menjadi produsen separuh dari total produksi kopi di dunia. “Produksi kopi Priangan menjadi bagian dari proses tanam paksa dengan perantara birokrat lokal, baik kepala desa, camat, maupun bupati,” kata Jan Breman dalam peluncuran dan diskusi bukunya di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM, Senin (24/3).
Namun begitu perlawananan rakyat tidak berhenti, dengan tidak dijumpainya komoditas kopi dalam jumlah besar di negeri Pasundan. Jan menilai, telah terjadi perlawanan petani secara konsisten untuk tidak menanam kopi. Apalagi kerja tanam paksa menanam kopi tersebut dianggap petani penuh dengan ketidakadilan dalam perdagangan.
Menurut Jan,awalnya motivasi Belanda datang ke Indonesia adalah untuk berdagang, namun yang yang terjadi selanjutnya adalah eksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam masyarakat. Dari penulisan buku tersebut, dia menyampaikan pesan penting bahwa model perdagangan di masa lalu masih dijumpai di era sekarang ini dalam bentuk globalisasi dengan segala kemudahan yang ditawarkan, tapi tetap saja bisa menimbulkan ketidakadilan di kemudian hari. “Karena itu, untuk memahami hari ini dan hari esok, kita perlu memahami masa lalu,” ujarnya.
Jan bercerita, untuk menulis buku tersebut dia membutuhkan waktu selama kurang lebih 30 tahun. Penggalian data yang tidak mudah di arsip Nasional Belanda dan Indonesia yang menjadi salah satu penyebabnya. “Saya harus menggali data dari Royal Tropical Museum di Amsterdam, sampai mengunjungi Arsip Nasional Indonesia di Jakarta,” kisahnya.
Jan mengaku sangat senang dengan diterjemahkannya buku hasil penelitiannya itu dalam bahasa Indonesia. Kendati penerbitan versi bahasa Indonesia berjarak sekitar lima tahun dari penerbitan versi bahasa Belanda. Ia berharap, buku ini mampu menjadi iteratur bagi peneliti-peneliti Indonesia yang memiliki perhatian pada isu-isu perburuhan, agraria, dan ketidakadilan perdagangan. Di Belanda sendiri, imbuhnya, buku ini tidak di-review, karena dianggap kritis terhadap pemerintahan kolonialisme Belanda. “Kritik terhadap pemerintah Belanda menjadi hal yang tabu dan tidak populer di sana,” katanya.
Peluncuran dan diskusi buku Jan Breman ini merupakan kerjasama Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM dengan Yayasan Obor Indonesia. Dekan Fisipol UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si mengatakan pihaknya menyambut baik terselenggaranya peluncuran dan diskusi buku ini. Buku sangat erat kaitannya dengan isu liberalisasi yang saat ini masih relevan. “Tentunya teman-teman mahasiswa mengetahui bagaimana ekploitasi asing yang terjadi di beberapa daerah,” tuturnya.
Condronegoro, perwakilan Yayasan Obor Indonesia mengungkapkan model eksploitasi asing masih terjadi di masa sekarang. Ia menyebut beberapa kasus, seperti perkebunan sawit yang banyak dikuasai asing. Di daerah perbatasan, katanya, produksi sawit melimpah, masyarakatnya justru sulit mendapatkan bahan pokok. “Mereka harus membeli dari negeri tetangga karena tidak ada pasokan dari dalam negeri,” paparnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)