Setiap tahun setidaknya terdapat 160 ribu anak yang terdiagnosis kanker. Dari jumlah tersebut hanya 20 persen dari mereka yang tinggal di negara maju mendapatkan pengobatan memadai. Selebihnya, 80 persen anak-anak penderita kanker yang hidup di negara berkembang tidak mendapatkan akses terhadap diagnosis dan pengobatan yang sebenarnya bisa menyelamatkan 100 ribu nyawa. Hal ini mengemuka pada “Sosialisasi Edukasi Kanker pada Anak” di Aula Lantai 2 RS Akademik UGM, Rabu (25/3).
Pembicara yang hadir dalam acara tersebut beberapa pakar dari RSUP dr. Sardjito, seperti dr. Pudjo Hagung Widjajanto, Ph.D, Sp.A(K); dr. Agus Supartoto, Sp.MK; dr. Eddy Supriyadi, Ph.D; serta Dr.dr. Puntodewo, M.Kes, Sp.A(K), Sp.OT(K). Acara dihadiri para dokter dan kader kesehatan dari puskesmas dan rumah sakit di DIY.
dr. Pudjo Hagung dalam paparannya menegaskan bahwa kanker leukemia saat ini masih menduduki peringkat tertinggi pada anak. Dari waktu ke waktu jumlah penderita leukemia pada anak juga terus meningkat.
“Dari 54% anak penderita leukemia, 4% penyandang Leukimia Limfoblastik Akut (LLA),” kata Pudjo.
Pudjo menambahkan penanganan kanker pada anak di Indonesia masih lambat. Maka tidak heran jika banyak anak penderita kanker yang ditangani secara medis sudah memasuki stadium lanjut. Deteksi dini dan pencegahan merupakan langkah awal agar tidak terjadi kondisi yang lebih memberatkan lagi.
“Deteksi dini dan pengobatan paliatif perlu ditekankan,” paparnya.
Sementara itu Dr.dr. Puntodewo, M.Kes, Sp.A(K), Sp.OT(K) menjelaskan mengenai bahaya osteosarkoma. Osteosarkoma adalah suatu tumor ganas bersifat agresif yang tumbuh dari sel mesenkimal dimana terjadi diferensiasi osteoblastik dan memproduksi osteoid ganas. Tumor ini merupakan tumor ganas pada tulang yang paling sering didapatkan, meliputi 40-60 persen dari seluruh tumor ganas primer tulang.
“Ini bisa terjadi pada seluruh rentang usia tetapi terutama didapatkan pada rentang usia 10 sampai 20 tahun,” kata Puntodewo.
Gejala awal dari tumor ini adalah nyeri pada tulang yang terkena. Rasa nyeri pada awalnya ringan, hilang-timbul, tetapi kemudian secara berangsur menjadi nyeri berat yang menetap. Pada beberapa penderita bisa didapatkan adanya riwayat cedera sebelumnya. Akan tetapi pada umumnya adanya cedera hanya merupakan penyebab munculnya perhatian pada tempat dimana tumor tersebut tumbuh, dan bukan penyebab sebenarnya. (Humas UGM/Satria)