YOGYAKARTA – Sebanyak 24 penulis yang tergabung dalam anggota komunitas kampung UGM di dunia maya, meluncurkan antologi cerpen Melukis Surga. Buku kumpulan cerpen yang ditulis para alumni UGM ini sengaja diterbitkan untuk menyemarakkan penulisan karya sastra di lingkungan kampus. Beberapa penulis diantaranya, Micha Adiatma, Han Gagas, Ramayda Akmal, Nugroho Dewayanto, Sungging Rangga, Mochammad Walid sepakat hasil penjualan buku ini sepenuhnya digunakan untuk kegiatan sosial. “Pendanaan buku ini dari kami pribadi, untuk hasil penjualannya, seluruhnya akan digunakan untuk kegiatan sosial,” kata Munasir Sastro Suwito, salah satu penulis buku dan sekaligus pegiat Kampung UGM dalam peluncuran dan bedah buku kumpulan cerpen Melukis Surga, Kamis (3/4), di Ruang Seminar Perpustakaan UGM.
Munasir menuturkan penulisan buku kumpulan cerpen ini berawal dari ide gagasan dari anggota komunitas yang akhirnya direspon dengan serius. “Padahal, saya sudah lama tidak menulis sastra, terakhir waktu SMP saya aktif menulis,” kisahnya.
Micha Adiatma, penulis lainnya yang cerpennya terpilih menjadi judul buku ini mengaku senang dengan terbitnya buku ini. Proses penulisan buku ini memakan waktu sekitar 2-3 bulan dari pengumpulan naskah, sampai penerbitan. “Melalui Melukis Surga, saya ingin menjelaskan bahwa anak-anak tidak pantas dikorbankan atas nama fanatisme buta,” ungkapnya.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Prof. Dr. Faruk H.T., dalam mengulas buku kumpulan cerpen tersebut mengatakan para penulis yang sebelumnya bergelut dalam dunia akademik, ternyata mampu berpikir secara abstrak, sesuai dengan pola dan kaidah umum. “Lewat sastra, mereka bisa berbicara dalam bahasa yang nyata, konkret dari kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Dalam cerpen berjudul “Melukis Surga”, pendedahan Faruk berangkat dari tokoh utama. Ia menenjelaskan, penggunaan tokoh anak-anak yang dapat menarik pembaca. Faruk juga mengapresiasi kecerdasan penulis dalam menawarkan pergerakan generalisasi dalam kisah Maria sebagai tokoh utama. “Cerpen ini tidak ingin pembaca hanya melihat nasib Maria secara partikular, namun kisahnya merujuk pada pengertian yang lebih umum,” tuturnya. (Humas UGM/Faisol)