Pemerintah maupun DPR dinilai tidak serius dalam membahas ratifikasi Konvensi Bom Curah (Convention on Cluster Munitions). Padahal, ratifikasi konvensi bom curah sebelumnya telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Persoalan politik lagi-lagi dinilai menjadi kendala mengapa Indonesia belum melakukan ratifikasi.
“Sudah masuk Prolegnas. Cuma baik pemerintah maupun DPR sering bertanya apakah kita perlu buru-buru meratifikasi? Mereka bertanya bagaimana dengan negara tetangga kita,” papar dosen dan peneliti dari Jurusan Hubungan Internasional FISIPOl UGM, Rochdi Mohan Nazala, MSA. M. Litt, pada diskusi “Suara Indonesia untuk Ratifikasi Konvensi Bom Curah” di kampus FISIPOL UGM, Jumat (4/4).
Awang, panggilan akrab Rochdi, menilai persoalan ratifikasi konvensi bom curah di Indonesia merupakan persoalan politik. Sayangnya, meskipun Indonesia baru diindikasikan memiliki bom curah, sampai saat ini belum ada komitmen untuk segera membahas dan mengesahkan ratifikasi konvensi bom curah tersebut.
“Yang anti nuklir saja belum selesai dibahas. Disini peran LSM di berbagai negara yang menentang adanya bom curah maupun sejenisnya perlu lebih keras bersuara,” urainya.
Senada dengan itu, Lars Stenger aktivis dari Jesuit Refugee Service Indonesia (JRSI) pada forum itu mengingatkan kembali bahaya dari dampak bom curah yang telah terjadi di banyak negara yang berkonflik. Ribuan masyarakat termasuk anak-anak tewas maupun cacat akibat terkena bom curah.
“Meskipun konflik sudah lama terjadi seperti di Laos atau Libanon, bom curah yang tertanam di tanah bisa sewaktu-waktu meledak dan membahayakan masyarakat,” kata Lars.
Ia menjelaskan salah satu sebab mengapa bom curah masih saja diproduksi antara lain karena kepentingan bisnis industri militer khususnya negara-negara maju seperti AS, China, Uni Soviet, maupun Singapura. Di tingkat Asia kondisi ini juga perlu mendapat perhatian serius karena konflik yang masih terbuka untuk terjadi.
“Ini menjadi perhatian serius bagi pemerintahan yang akan terbentuk pasca pemilu tahun ini,” terangnya.
Selain diskusi, acara ini juga disertai dengan pemutaran film, pameran foto dan penandatanganan petisi guna memperingati Hari Internasional Kesadaran dan Aksi Bantuan atas Ranjau.
Seperti diketahui Konvensi Bom Curah tahun 2008 adalah perjanjian internasional komprehensif yang mengikat secara hukum dengan melarang penggunaan, produksi, penimbunan, dan transfer bom curah yang membutuhkan penghancuran timbunan bom curah dalam delapan tahun, serta pembersihan tanah yang terkontaminasi bom curah dalam waktu sepuluh tahun. Konvensi ini ditandatangani oleh 94 negara, termasuk Indonesia pada saat dibuka untuk ditandatangani di Oslo, Norwegia pada tanggal 3 Desember 2008. Hingga 13 September 2013, 113 negara telah menandatangani Konvensi tersebut dan 84 negara telah meratifikasi. (Humas UGM/Satria)