![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/0404141396592110667809262-765x510.jpg)
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 akan segera dimulai. Pemberlakuan MEA akan membuat perdagangan komoditas antar negara ASEAN menjadi bebas. Demikian halnya dengan transportasi barang dan jasa, modal, serta tenaga kerja.
“Akan terjadi persaingan yang tinggi dengan diberlakukannya Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 mendatang. Karenanya ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan akan menjadi modalitas bangsa dalam menghadapi dinamika ekonomi global,” urai Edy Putra Irawady, Deputi Menko Perekonomian Bidang Perniagaan dan Kewirausahaan, Jum’at (4/4) di UC UGM dalam seminar Synergia 2014: Sistem Logistik Untuk Daya Saing Dan Kedaulatan Pangan.
Edy mengatakan adanya pasar tunggal ASEAN nantinya menjadikan seluruh kegiatan perniagaan pangan antarnegara di kawasan ASEAN menjadi sangat longgar. Hal tersebut menjadi tantangan bagi Indonesia untuk tidak hanya meningkatkan daya saing produk-produk domestik agar tidak tergilas produk impor. Namun, diperlukan pula upaya mewujudkan sistem logistik yang efektif dan efisien yang dapat mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan daya saing dan mewujudkan kedaulatan pangan.
“Efisiensi logistik menjadi kunci kita dalam mengatasi tantangan membanjirnya impor pangan yang akan melemahkan suplai domestik dan memanfaatkan perluasan peluang pasar pangan di kawasan,” jelasnya.
Hal serupa, dikatakan Edy juga terjadi dalam perkembangan permintaan pangan dunia. Pemulihan ekonomi global akan menjadi peluang bagi ekspor pangan apabila sistem logistik pangan dapat mengintergasikan potensi pangan domestik. Selain itu, sistem logistik yang ada mampu menghubungkan dengan pusat-pusat distribusi pangan internasional secara efisien.
“Saat ini pembangunan sistem logistik pangan kita belum efisien. Hal ini membuat ketidakseimbangan pembangunan ekonomi antarpulau,” terangya.
Misalnya Pulau Jawa masih mendominasi pembentukan PDB Nasional yang mencapai angka 57,5 persen. Sementara Sumatera menyumbang 23,8 persen, disusul Kalimantan 9,3 persen, Sulawesi 4,8 persen, Bali-NTT 2,5 persen, dan Papua-Mauku sebesar 2,1 persen.
Kesenjangan pembangunan di Indoensia, lanjutnya, juga disebabkan tingginya biaya logistik dibandingkan dengan biaya produksi. Pada tahun 2010 biaya logistik sebesar 14,08 persen lebih tinggi dari biaya produksi atau 25 persen dari GDP.
“Fakta lain masih sering terjadi kelangkaan komoditas strategis dan disparitas harga yang sangat tinggi terumata di wilayah timur Indoensia. Diperparah dengan rendahnya peran pelaku logistik dan perusahaan penyedia jasa logistik dalam perniagaan Indonesia sehingga menjadi beban daya saing pangan dan ekonomi nasional,” papar Edy.
Karenanya Edy berharap dukungan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi dalam mendorong pengembangan sistem logistik pangan Indonesia untuk mewujudkan ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan. Bahkan menjadi pemenang dalam suplai pangan dunia .
Sementara Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL ) UGM, Kuncoro Hadi Widodo memaparkan bahwa pengembangan infrastruktur transportasi logistik belum berdasarkan karakteristik Indonesia dengan wilayah kepulauan.
“Selama ini sistem logistik belum didasarkan pada karakterisitik wilayah Indonesia. Belum ada peta potensi wilayah mana yang layak dikembangkan secara komersial,” katanya.
Ditambah lagi dengan belum adanya ada grand desain supply dan demand komoditas masing-masing wilayah. Misalnya pemetaan kebutuhan komoditas di suatu pulau dan dari mana suplai komoditas yang dibutuhkan.
Ia mencontohkan di Pulau Kalimantan berdasarkan potensi wilayahnya hasil tambang merupakan komoditas unggulan yang dapat diekspor maupun untuk memnuhi kebutuhan domestik. Melihat karakteristik wilayah yang memiliki banyak sungai besar dan densitas penduduk rendah maka pengembangan angkutan yang efektif melalui angkutan laut, bukan jalan darat. Sementara untuk pemenuhan komoditas pangan disuplai dari daerah produsen.
“Berbeda dengan di Pulau Bali, dengan pariwisata sebagai komoditas unggulannya. Pengembangan infrastruktur yang dibangun harusnya untuk mendukung pariwisata seperti pelabuhan pariwisata, bukan membangun pelabuhan barang,” jelasnya.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, Saut Hutagalung mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi tinggi di sektor kelautan dan perikanan yang dapat menopang kebutuhan pangan dan kedaulatan pangan nasional. Hanya saja sumber pangan laut ini belum banyak digarap dan belum memiliki sistem logistik yang efeisien untuk meningkatkan daya saing suplai pangan.
“Padahal potensi ekonomi sumber daya perikanan kita kurang lebih US$ 82 miliar pertahunnya,” terangnya.
Saut mengatakan peran ikan semakin penting dalam upaya mewujudkanketahanan pangan dan gizi nasional. Untuk itu penyediaan ikan yang berkelanjutan menjadi penting guna memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Seperti diketahui tingkat konsumsi masyarakat Indonesia selama empat tahun terakhir mengalami kenaikan. Selama periode 2009-2013 tingkat konsumsi ikan domestik rata-rata naik sebesar 5,20 persen setiap tahunnya. Sementara pada tahun 2013 diperkirakan angka realisasi konsumsi ikan mencapai 35,62 kg per kapita.
“Dengan kata lain pada 2013 angka realisasi konsumsi ikan sebesar 101 persen dari target. Jika dibandingkan dengan realisasi 2012 angkakonsumsi ikan 2013 sebesar 104 persen,”terangnya.
Saut menyampaikan permintaan terhadap ikan terus mengalami kenaikan. Sementara itu, penyediaan ikan menghadapai sejumlah tantangan besar. Mulai dari kemampuan penyediaan ikan yang berkualitas, dalam jumlah besar, dan kontinu, distribusi, efisiensi logistik, dan stabilitas harga. Ditambah lagi dengan persolan konektivitas rantai pasokan, disparitas SDM dan teknologi antar wilayah, serta harmonisasi dan koordinasi kebijakan.
“ Masih banyak persoalan dilapangan. Melalui sistem logistik ikan nasional (SLIN) diharapkan bisa meningkatkan kapasistas dan stabilisasi hulu-hilir, memperluas, dan memperkuat konektivitas dan meningkatkan efisiensi manajemen rantai pasokan ikan,” jelasnya. (Humas UGM/Ika)