![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/16041413976250341932641012.jpg)
Bagi sebagian kalangan, menyantap suatu masakan terasa kurang lengkap tanpa kehadiran kecap dalam hidangan. Kesan tersebut menunjukkan arti pentingnya kecap dalam menambah kelezatan makanan. Tak heran jika para pecinta kuliner terus berburu kecap yang benar-benar mengedepankan kualitas dengan cita rasa tinggi. Nah, berbincang tentang kecap yang berkualitas, kita tidak dapat hanya berbicara tentang rasa, tetapi juga bahan baku kedelai dan teknologi di balik semua itu.
Terkait dengan kecap yang berkualitas tersebut salah satu dosen di Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Prof. Dr. Ir. Sardjono, M.S., berhasil mengembangkan inovasi teknologi proses fermentasi kecap. Tepatnya, ia melakukan penelitian komprehensif tentang perbaikan proses dan peningkatan efisiensi proses fermentasi kecap dengan bahan baku lokal, yakni kedelai hitam.
Sardjono menuturkan salah satu faktor penghambat pabrik kecap dalam meningkatkan produksi adalah fermentasi moromi atau fermentasi dalam larutan garam. Penyebabnya ialah tahapan fermentasi memakan waktu lama, berkisar antara lima sampai dengan enam bulan.
“Proses fermentasi tersebut biasanya memakan waktu yang lama hingga lima bulan sehingga kita coba cari solusinya,” papar Sardjono, Rabu (16/4).
Dari inovasi yang dikembangkan Sardjono, proses fermentasi dapat diperpendek menjadi 3,5 bulan dengan kualitas yang sama dengan fermentasi sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Sardjono dimulai dengan isolasi mikroflora dari proses fermentasi kecap, melakukan seleksi beberapa strain mikroba yang memiliki potensi besar untuk fermentasi. Langkah berikutnya ialah melakukan formulasi starter dan merancang proses produksi starter, termasuk unit produksinya.
“Yang konvensional untuk proses fermentasi ini kan menggunakan tampah dan dibiarkan berada di tempat terbuka saja,” tuturnya.
Penelitian berikutnya ialah pengembangan dan perbaikan proses fermentasi oleh jamur atau fermentasi koji. Fermentasi koji merupakan tahapan proses yang sangat penting untuk menentukan kualitas hasil fermentasi. Dalam pengembangan yang dilakukan Sardjono, fermentasi koji yang semula tidak dikendalikan dengan baik diubah dengan merancang proses yang dapat dikendalikan dengan baik, yakni dengan pengendalian RH ruang fermentasi, suhu, aerasi (oksigen), pengeluaran CO2, cara pengadukan bahan, dan sistem pengendalian otomatis.
“Proses fermentasi ini kita coba sederhanakan melalui fermentasi terkendali menggunakan bioreaktor,” terang pria kelahiran Yogyakarta, 13 Juli 1950 ini.
Ia mengungkapkan penelitian yang dilakukannya ini dikembangkan dari penelitian kinetika fermentasi yang sudah ada sebelumnya. Disebutkan pula bahwa diperlukan sebuah bioreaktor untuk fermentasi terkendali. Sardjono mengaku alat tersebut dapat terwujud berkat diskusi intensif dengan divisi engineering pabrik (dalam hal ini PT Unilever Indonesia Tbk.) dan pabrik pembuat alat-alat industri pangan. Dari rancangan pertama bioreaktor telah dilakukan evaluasi dan revisi. Saat ini telah terpasang beberapa unit bioreaktor untuk fermentasi koji dengan kapasitas sebuah bioreaktor sekali fermentasi ekuivalen dengan empat ton kedelai.
“Dulunya mungkin hanya sekitar 4-5 ton kecap per tahun yang dihasilkan, tapi sekarang bisa mencapai 70 ribu ton kecap per tahun. Jadi, memang selain hemat waktu, sekaligus hasilnya berlipat ganda,” tambahnya.
Ketika itu penelitiannya ini adalah penelitian multiyears yang hasilnya langsung dapat digunakan oleh industri. Hal tersebut dapat terwujud karena ada industri atau perusahaan yang mau membuka diri untuk melakukan kolaborasi riset dengan berpandangan bahwa perguruan tinggi adalah tempat berkumpulnya para peneliti handal. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi para peneliti untuk membuktikan diri bahwa mereka mampu berkontribusi untuk mengembangkan dan meningkatkan efisiensi proses pada industri. Dalam penelitian ini, Sardjono mengaku cukup terbantu dengan peran dan bantuan koleganya di FTP, Prof. Dr. Ir. Mary Astuti.
Sardjono menyebutkan perjalanan industri yang menggunakan jamur secara komersial sebagian besar memang belum memuaskan. Penyebabnya adalah rendahnya produktivitas dan masalah-masalah teknis pemanfaatan jamur di bidang industri bioteknologi. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, kapasitas industri juga harus besar. Sementara itu, kapasitas pabrik yang besar tentu memerlukan proses handling dan pengendalian yang tidak mudah. Inilah persoalan yang menjadi salah satu penyebab beberapa industri mikroprotein atau protein sel tunggal tidak mampu bertahan hidup. (Humas UGM/Satria)