Pemikiran Nietzsche tentang seni tertuang dalam bukunya Die Geburt der Tragodie aus dem Geistes der Musik (1872), yang dalam versi bahasa Inggris diterjemahkan menjadi The Birth of Tragedy out of the spirit of Music (Kelahiran Tragedi dari Semangat Musik). Di buku tersebut, Nietzsche menggambarkan tentang kesempurnaan kehidupan subjek dalam seni, dengan menampilkan dua roh yang saling memberikan kehidupan yang dinamis. Baginya, Apollonian dan Dionysian merupakan perpaduan yang dapat menghidupkan subjek dalam seni dalam rangka proses kesadaran manusia modern.
Demikian disampaikan Sunarto SSn MHum, Dosen Seni Drama, tari, dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes) saat melaksanakan ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, hari Senin (24/9). Promovendus mempertahankan desertasi “Kematian Subjek Dalam seni Menurut Friedrich Nietzsche (1844-1900) dengan bertindak selaku promotor Prof Dr Endang Daruni Asdi dan ko-promotor Prof Dr Lasiyo MA.
Kata Sunarto, dalam realitas Nietzsche, sejak era Sokrates hingga Hegel telah terjadi penghilangan satu roh, yaitu Dionysian. Dengan hilangnya Dionysian ini, maka matilah kehidupan subjek dalam seni, dan yang ada hanya sifat-sifat tunduk, indah, malu, tak percaya diri, dan dekadensi.
“Realitas matinya subjek dalam seni ini, telah mendorong manusia modern ke arah jiwa yang lemah, seperti penurut dan tunduk pada grand narrative,†ujar Sunarto.
Dominasi Apollonian telah menjadikan manusia modern cenderung ke arah primasi rasio yang beridentifikasi. Proses identifikasi ini, menurut Nietzsche telah membelenggu manusia modern hingga ke tatanan decenden, proses penurunan drastis kesadaran manusia.
“Decenden inilah yang menjerumuskan pada ketidakbebasan manusia modern untuk berkreasi dalam seni. Seni disini telah terkungkung dalam lingkaran Apollonian yang membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi,†ujarnya lagi.
Dijelaskan Sunarto, Apollonian tidak menyisakan ruang bagi adanya transvaluasi nilai. Apollonian telah mengantarkan kepada idée fixe, ide yang fiksatif yang diidentifikasi secara fixed yang dipejalkan dan dimapatkan sebagai yang final, yang transenden.
“Realitas idée fixe ini menurut Nietzsche sebagai puncak kematian subjek. Dalam idée fixe ini subjek dituntut tunduk pada yang Transenden, yang Ilahi. Di dalam suasana idée fixe ini kebebasan subjek hilang sama sekali, dan yang ada hanyalah kesadaran yang cogito,†tandas pria kelahiran Sleman, 15 Desember 1969, yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan sekaligus meraih doktor bidang ilmu filsafat UGM.
Selain sebagai kritik ideologi bagi pengembangan pemikiran seni, pemikiran-pemikiran Nietzsche bermanfaat pula bagi peneguhan eksistensi manusia selalu Ja-sagen. Pemikiran Nietzsche tentang kematian subjek dalam seni menyadarkan bahwa perkembangan seni tidak mengenal kata “akhirâ€. Dengan demikian selalu terbuka kritik membangun guna kemajuan seni. (Humas UGM).