Siapa yang tak kenal dengan tempe? Makanan yang terbuat dari fermentasi kacang kedelai ini banyak disukai karena rasanya yang lezat dan kandungan gizi yang tinggi. Harganya pun murah, mudah diperoleh di mana saja.
Dulu, tempe masih dipandang sebelah mata dan diidentikkan dengan makanan kalangan bawah. Kini tempe menjadi makanan favorit siapa saja. Makanan asli Indonesia ini tak hanya digemari masyarakat setempat, tetapi juga banyak orang di benua Amerika dan Eropa. Permintaan terhadap tempe pun tergolong tinggi.
Untuk memenuhi permintaan pasar, banyak industri yang memanfaatkan mesin penggiling atau pengupas kedelai dalam proses pengolahan tempe. Tidak hanya industri berskala besar, UMKM pun banyak yang telah menggunakan mesin ini.
Mesin penggiling kedelai memang sudah banyak dijual di pasaran dengan tipe yang cukup beragam. Dalam waktu yang tidak lama lagi juga akan segera dirilis mesin pengupas kedelai jenis baru. Ingin tahu seperti apa mesin yang satu ini? Mari kita telusuri lebih jauh.
Adalah Ir. Mudjijana, M.Eng., dosen Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik UGM, yang menggagas pengembangan mesin pengupas kedelai jenis screw. Sekilas, penggiling kedelai jenis ini tidak jauh berbeda dengan mesin sejenis yang ada di pasaran. Namun, yang menjadikan alat ini istimewa adalah pada penggunaan porosnya.
Gunakan Poros Ulir
Kebanyakan, mesin pengupas kulit ari kedelai diproduksi dengan menggunakan sistem disk berputar dan plat diam. Sementara itu, yang dikembangkan oleh Mudjijana adalah menggunakan poros berulir (screw), yang memberikan permukaan kontak lebih besar antara screw dan rumahnya.“Pada dasarnya, prinsip kerjanya sama dengan alat lainnya yang sudah ada, hanya untuk porosnya kita gunakan poros berulir,” kata Mudji, demikian ia biasa disapa.
Mesin pengupas kedelai pada umumnya bekerja dengan menggunakan prinsip gesekan, begitupun yang dikembangkan oleh Mudji. Hanya saja, mesin ini tidak menggunakan plat biasa seperti yang telah banyak dikembangkan, tetapi plat berbentuk ulir. Dengan adanya ulir, gaya pemecahan menjadi lebih halus sehingga mengurangi hancurnya kedelai saat penggilingan. “Dengan mesin ini, gaya pemecahan pada kedelai terlihat lebih halus dan bisa meminimalisir hancurnya kedelai saat proses penggilingan,” ujarnya.
Mudji menyebutkan dari uji coba yang telah dilakukan, model ini selain dapat mengupas, juga mampu membelah kedelai dengan maksimal.“Hasil uji coba menunjukkan mesin ini dapat mengupas kulit ari kedelai dan setidaknya 60 persen kedelai bisa terbelah menjadi dua bagian,” jelas pria kelahiran Bantul, 15 Februari 1956 ini.
Di samping itu, mesin memiliki bentuk yang lebih ramping dibandingkan dengan yang sudah ada. “Alat ini lebih ramping karena satu sumbu sejajar, sementara yang lain itu satu sumbu, tapi berlawanan. Dengan desain seperti ini jadi lebih tidak makan tempat,” tambahnya.
Model mesin pengupas kedelai buatan Mudjijana terdiri atas screw dan rumah screw yang terbuat dari logam paduan aluminium. Screw disambung dengan poros yang kedua, ujungnya didukung oleh sebuah bantalan gelinding. “Poros ini digerakkan dengan sebuah elektromotor transmisi sabuk V,” ujar Mudji.
Alat pemecah kedelai ciptaan Mudji digerakkan dengan motor AC satu fase bertegangan 220 volt dengan putaran mesin 1.100 rpm. Mesin menggunakan transmisi sistem puli V dan sabuk V. Adapun kapasitas alat rata-rata 16-20 kg per jam. “Mesin ini hanya membutuhkan daya sekitar 300 watt,” imbuh Mudji.
Ide Mahasiswa
Mudji mengungkapkan ide pembuatan mesin pengupas kedelai ini sebenarnya berawal dari mahasiswanya. Sekitar tahun 2003 silam, ada seorang mahasiswa yang datang kepadanya meminta bimbingan untuk pengerjaan tugas akhir. Saat itu, si mahasiswa mengajukan bimbingan untuk membuat mesin penggiling kedelai. “Dulu ada mahasiswa yang datang ke saya mengungkapkan ingin mengembangkan mesin pengupas kedelai untuk tugas akhir. Okay, saya bimbing,” cerita Mudji.
Saat itu, mesin penggiling kedelai yang dikembangkan si mahasiswa bodi rumah poros berulir dibuat dari kayu sono keling. Alat pun masih digerakkan secara manual menggunakan engkol dengan kapasitas produksi sekitar 4 kg per 15 menit. Cara kerja dengan sistem poros berulir yang didorong maju bergesekan dengan bodi rumah poros berulir. Selanjutnya, mesin dikembangkan lagi dengan dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa bidang Teknologi (PKMT) 2004, yakni dengan modifikasi memasukkan motor listrik sebagai penggerak. Prototipe mesin kala itu berukuran 0,51 m x 0,56 m x 0,7 m dengan berat sekitar 75 kg, termasuk penggerak elektromotor ¼ HP dengan kapasitas produksi 16,2 kg/jam. “Saat dipamerkan di Pimnas 2004 di STTKL Bandung, ada usulan dari Disperindagkop Bandung untuk dipatenkan,” katanya.
Lantas, Mudji pun bergerak untuk mengurus perolehan paten yang akhirnya berhasil diperoleh pada awal 2010. “Sebelum dipatenkan, saya izin dulu ke mahasiswa saya itu. Bagaimana kalau saya patenkan?” ujarnya. Alhasil, si mahasiswa mengizinkan. “Dia bilang ‘okay, itu kan memang hak Bapak’,” kisahnya.
Sebelum dipatenkan, Mudji melakukan penyempurnaan di beberapa bagian. Poros berulir diganti dengan bahan paduan cor aluminium agar lebih tahan lama. “Poros ulir kita ganti dengan paduan cor aluminium karena yang dari kayu tidak tahan lama jika terkena air,” jelasnya. Poros berulir diproduksi dengan cara pengecoran menggunakan cetakan pasir kering. Bahan baku yang digunakan adalah aluminium paduan yang terdiri atas rol mesin fotokopi dan piston bekas.
Membangun Mini Plant
Tak hanya berhenti dengan membuat alat, pada 2010 Mudji menindaklanjuti dengan mengaplikasikan mesin untuk pembuatan tempe, yakni dengan mendirikan sebuah mini plant usaha kecil produksi tempe di Jatimulyo RT 05/RW02, Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta. Ia menggandeng mitra perajin tempe usaha kecil menengah Kelompok Usaha Bersama (KUB) RELA.
Suyadi, Ketua KUB RELA, mengaku merasakan manfaat dengan adanya mesin yang dikembangkan Mudjijana. Sebelumnya, Suyadi membuat tempe dengan cara tradisional. Pengupasan kulit ari kedelai dengan menginjak-injak kedelai secara langsung membutuhkan waktu yang lebih lama dan menguras tenaga. Sejak adanya mesin ini dirasa mampu menghemat waktu dan tenaga pengerjaan produksi tempe. “Dengan mesin ini bisa mempercepat dan menghemat tenaga dalam membuat tempe, khususnya pada proses pengupasan kulit ari kedelai,” katanya.
Mudji menambahkan pengupasan kedelai dengan cara tradisional, selain membutuhkan waktu yang lama, produksinya pun menjadi berkurang. Dengan cara ini tidak sedikit kedelai yang ikut terbuang saat pencucian. “Hasilnya pun tidak bisa seragam kalau dengan diinjak-injak, tetapi kalau dengan mesin bisa seragam,” tuturnya.
Setiap hari, mini plant mampu memproduksi 10 kg kedelai dan menghasilkan 200 bungkus tempe. Tempe yang diproduksi merupakan tempe daun dengan ukuran yang jauh lebih besar daripada tempe daun pada umumnya. “Kami memang memilih mengembangkan tempe daun untuk memenuhi permintaan konsumen yang fanatik pada tempe jenis ini. Ukurannya pun dibuat dua kali lebih besar, seukuran mendoan,” terangnya.
Meskipun telah berhasil diaplikasikan pada industri tempe, Mudji belum menjual alat ini ke pasaran. Saat ini, pihaknya masih melakukan penyempurnaan di beberapa bagian. “Awalnya saya membuat mesin ini yang dipentingkan fungsinya dulu, sementara bentuknya belum begitu diperhatikan. Jadi, ini sedang berusaha menyempurnakan bentuknya,” kata bapak tiga anak ini.
Tak hanya itu, Mudji kini tengah mengembangkan mesin penggiling kedelai dengan kapasitas dua kali lebih besar, yakni 32kg/jam atau setara dengan 250kg/hari untuk memenuhi produksi yang lebih besar. Selain itu, ia juga berencana memproduksi mesin pengiris tempe untuk membuat ceriping tempe.
Apabila tidak ada kendala, Mudji berharap tahun ini mesin penggiling kedelai jenis screw dapat segera diproduksi. Satu unit mesin dihargai 2,5 juta rupiah. Ayo, siapa ingin memesan? (Humas UGM/Ika)