YOGYAKARTA – Demokrasi Indonesia telah berkembang menuju ke arah yang lebih baik, khususnya dalam praktik aturan main demokrasi formal bahkan telah berhasil terlembagakan. Namun begitu, praktik demokrasi yang sudah berjalan ini belum membawa dampak bagi peningkatan kesejahteraan bagi warga segenap warga negara. Padahal kerinduan hadirnya Negara dalam mewujudkan pemenuhan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, pensiun dan fasilitas transportasi publik tidak bisa terbantahkan.
“Bukan berarti negara sama sekali tidak bergfungsi, namun negara tampaknya lebih disibukkan membuat aturan tentang layanan publik bukan mengimpelementasikannya. Apalagi aparatur negara umumnya masih lemah dalam impelementasi kebijakan,” kata Pengajar Ilmu Politik, Fisipol UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso dalam menyampaikan hasil Survei Perkembangan Demokrasi di Indonesia di UC UGM, Selasa (29/4).
Menurut Guru Besar Fisipol UGM ini, peran penyediaan pemenuhan kesejahteraan bukan dilakukan Negara melainkan oleh pelaku pasar atau sektor swasta dan tata kelola berbasis masyarakat, “Artinya warga Negara merindukan negara tapi negara malah memberi sektor swasta untuk memenuhi kebutuhan dasar,” katanya.
Survei hasil kerjasama UGM dengan University of Oslo ini dilakukan di 30 Kabupaten/kota di Indonesia melibatkan narasumber 592 aktivis pro demokrasi yang berlangsung sejak awal 2013 hingga akan berakhir tahun 2014. Ada empat temuan penting dari survei ini, diantaranya perkembangan demokrasi Indonesia mengarah pada politik berbasis ketokohan, khususnya mereka yang menduduki posisi publik seperti pimpinan daerah. Bahkan ada kecenderungan organisasi seperti partai politik dan organisasai berbasis akar rumput tidak lagi penting dalam politik.
“Kalaupun aktor menggunakan organisasi, ia bersifat pragmatis yakni untuk memobilisasi pemilih saat pemilu. Setelah Pemilu usai, organisasi terlupakan,” katanya.
Politik berbasis figur ini, tambah Purwo, ditandai dengan kebutuhan para figur untuk populer melalui media massa. Mereka lebih peduli pada upaya memperkuat basis kekuasaan dan popularitasnya daripada membuka dan mengajak perdebatan tentang kebijakan. “Itulah yang muncul dengan yang selama ini kita kenal sebagai politik pencitraan,” katanya.
Hal senada juga ditegaskan Profesor Ilmu Politik University of Oslo, Prof Olle Tornquist, politik Indonesia mengarah pada munculnya populisme. Kelahiran populisme ini tampaknya menandai pergeseran model politik Indonesia yang berbasis patronase dengan karakterisik yang klienistik.
Dalam kesempatan yang sama, salah satu anggota tim peneliti sekaligus Pengajar Hubungan Internasional, Fisipol UGM, Dr. Eric Hiarej mengatakan dari survei yang dilakukan di tingkat akar rumput ditemukan bahwa pemilih yang memberikan suaranya pada calon legislatif atau calon kepala daerah tidak hanya ditentukan oleh faktor politik uang namun juga karena hubungan relasi yang begitu kuat di masyarakat. (Humas UGM/Gusti Grehenson)