![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/05/050514139927977960542344-765x510.jpg)
Gubernur DIY Sri Sultan HB X menilai Indonesia saat ini tengah dilanda penyakit anomali nilai-nilai Pancasila. Terjadi kesenjangan yang tajam antara nilai-nilai ideal dan aktual. Untuk itu diperlukan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dengan strategi kembar, yaitu aktualisasi obyektif pada institusi dan aktualisasi subyektif bagi individu.
“Untuk itu perlu dikuatkan dengan PP selain revisi UU Sisdiknas untuk mereposisi sistem pendidikan nasional,” papar Sri Sultan HB X saat menjadi pembicara kunci Kongres Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan II di Balai Senat UGM, Senin (5/5). Kongres berlangsung selama dua hari.
Sri Sultan menambahkan kepemimpinan nasional hasil pemilu 2014 perlu mengubah paradigma pembangunan dengan menitikberatkan pada peningkatan kualitas modal manusia (human capital). Dalam pengembangan modal manusia itu, pendidikan memegang peranan kunci sebagai pendekatan dasar dan bagian penting dalam suprasistem pembangunan bangsa.
“Reposisi sisdiknas diperlukan untuk mempercepat implementasi kebijakan pemerataan mutu dan akses pendidikan,” katanya.
Di akhir paparan Sri Sultan HB X juga menyayangkan berbagai kebijakan unggul yang digulirkan para pendiri bangsa telah ditinggalkan. Perluasan pendidikan tidak disertai dengan mutu. Kondisi Indonesia ini membuktikan belum cerdasnya kehidupan berbangsa dan belum majunya kebudayaan nasional.
“Tentu kita bersyukur pada kurikulum 2013 telah ditetapkan mata ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang sebelumnya hanya Pendidikan Kewarganegaraan. Selain itu jumlah jam pembelajarannya pun ditambah. Mudah-mudahan ini semakin memperkokoh sisdiknas yang berkepribadian dan berlandaskan Pancasila,” tutur Sri Sultan.
Sementara itu pakar sejarah dan pendidikan, Prof. Syafii Maarif menilai meskipun sudah lama merdeka, dunia pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih bercirikan kolonialisme. Hal ini terlihat dari sikap mental amtenarisme dengan menjadi PNS sebagai tujuan utama. Ia menilai tujuan utama sistem pendidikan kolonial adalah mencetak manusia yang penurut, tertib, tidak mampu berinisiatif, dan selalu menunggu perintah atau petunjuk atasan serta tidak mau memikul risiko.
“Sikap mental seperti ini masih terus berlanjut. Akibatnya daya tampung pegawai negeri yang terbatas ini menjadi ajang rebutan dengan segala sistem pencaloannya yang kumuh dan kasar,” tegas Syafii .
Kondisi tersebut menyebabkan semangat untuk mandiri dengan menciptakan lapangan kerja sendiri bangsa Indonesia sangatlah lemah. Akibatnya jumlah penganggur terdidik semakin membengkak dari tahun ke tahun. Di sisi lain fenomena TKI yang bermasalah di luar negeri juga semakin memprihatinkan.
“Jangan kita diam. Kita punya Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang harus dirawat dengan baik. Sayangnya sistem pendidikan nasional banyak tidak memasukan nilai-nilai penting dari ke duanya,” paparnya.
Sementara itu Ketua Yayasan Damandiri yang juga Pembina program Posdaya, Prof. Dr. Haryono Suyono menyayangkan pengelolaan pendidikan tingkat dasar di era otonomi daerah diserahkan ke setiap daerah. Karena kekayaan daerah dalam bentuk APBD berbeda, dukungan pemerintah daerah juga berbeda-beda. Akibatnya, pemerataan pendidikan dengan mutu yang wajar pada tingkat dasar tidak terjadi.
“Fasilitas pendidikan baik yang terkait dukungan untuk guru, upaya peningkatan kualitasnya tidak terjamin pemerataannya. Daerah dengan tingkat pendapatan rendah tidak mungkin diberikan dukungan yang memadai,” pungkas Haryono. (Humas UGM/Satria)