Jika abad ke VII, Nusantara memiliki kejayaan Sriwijaya yang mengglobal dan abad XIV dengan kebangkitan Majapahit yang juga mengglobal, maka di peride 700 tahun di abad XXI, Indonesia mestinya juga harus bisa mengglobal. Bahwa kebangkitan sesuai semangat dan karakter zaman menjadi peluang kesejarahan untuk meresultansikan dua kekuatan utama sejarah, yaitu mahasiswa dan kebangkitan.
Demikian disampaikan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X saat menjadi pembicara pada Dialog Kebangsaan bertajuk “Kontribusi Ilmu dan Amal Mahasiswa Bagi Bangsa”, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM, Rabu (7/5).
Menurut Sultan, para mahasiswa saat ini menghadapi dua medan sekaligus, terhadap lingkungannya ia dituntut sebagai katalisator percepatan perubahan. Akan tetapi secara internal, para mahasiswa masih menghadapi banyak masalah. Secara kolektif mahasiswa belum menyatu dalam satu gerakan pembaharuan. Tak hanya itu, para mahasiswa pun belum selesai dengan dirinya sendiri, yang secara pribadi mahasiswa harus menjadi seseorang yang punya prestasi untuk meningkatkan daya tawar, sekaligus mengambil peran dan bukannya meminta peran.
“Kini Indonesia bukan lagi sekedar cita-cita, melainkan realitas. Dimana cita-cita Sumpah Pemuda memberi semangat, tetapi realita butuh cita-cita baru. Cita-cita baru yang bersemangat mempersatukan sekaligus merekahkan. Realita itu sudah ada bernama Indonesia, buah dari cita-cita para mahasiswa pendahulu. Indonesia saat ini membutuhkan cita-cita baru untuk mempersatukannya, sekaligus merekahkannya dalam sebuah realita baru bernama Indonesia Baru, yang lebih berkeadilan, sejahtera, aman, dan damai,” tuturnya.
Kebangkitan nasional 1908, kata Sultan, ditetaskan ditengah cengkeraman penjajahan. Tantangan dan peluang kebangkitan mahasiswa nyaris sama sekaligus berbeda. Hal itu memiliki persamaan dalam cengkeraman penjajahan, tetapi berbeda motif, modus, dan gayanya. Bukan lagi penjajahan itu mengokupasi wilayah secara fisik, tetapi juga me-remote melalui jejaring ekonomi global, sketsa politik internasional, gurita informasi, dan destruksi moral generasi muda. Pelakunya bukan lagi kaum penjajah, tetapi konsorsium global yang beranggotakan lintas negara dan lintas benua.
“Itulah tantangan dan tuntutan peran mahasiswa, untuk bisa mensinergikan segala kekuatan bangsa melawan bentuk penjajahan baru, penjajahan global dalam semua aspek, politik, ekonomi, dan kebudayaan melalui kesadaran sejarah akan ilmu-amaliyah yang dimilikinya,” kata Sultan.
Sementara itu, Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si saat berbicara “Menjadi Mahasiswa Berilmu dan Mampu Beramal Demi Kehidupan Bersama” mengungkapkan bahwa berolah ilmu dan mengamalkan ilmu hendaknya berdasarkan moral. Sebab, berolah ilmu dan mengamalkan ilmu pada dasarnya beraktivitas dalam pemenuhan tuntutan fitrah manusia. Ilmu yang bermoral adalah ilmu yang mampu menjadi pemandu dan obat kerinduan manusia pada kebaikan, kebenaran, dan keadilan absolut.
“Oleh sebab itu, ilmu dituntut fasilitatif terhadap kebutuhan manusia baik lahir maupun batin. Ilmu harus mampu memanusiakan manusia seutuhnya, dan mampu mencegah, membentengi, dan melindungi dari setiap upaya yang melanggar hak asasi manusia,” kata Sujito.
Persoalannya, dalam perjalanan sejarah panjang, moral, dan moralitas sedikit demi sedikit tereduksi, sehingga kandungan moral dan moralitas dalam ilmu dewasa ini menipis. Perkembangan ilmu menjadi semakin memprihatinkan, ketika moral dan moralitas yang masih tersisa cenderung diputar-balikan melalui rekayasa atau permainan yang menjadikan garis batas antara adil/dzalim, benar/salah, baik/buruk, jujur/bohong dan sebagainya kabur, simpang-siur, kacau dan membingungkan.
“Bahkan pada tataran teoritis maupun praktis seakan tidak ada lagi garis batas, garis pemisah, garis demarkasi dalam moral dan moralitas, sehingga siapapun yang terlibat dalam masalah-masalah hukum, menjadi bingung dan terjebak dalam ketidak-berdayaan, ketidak-pastian, ketidak-teraturan, karena memang tidak ada pedoman, tidak ada referensi ataupun kategori-kategori yang pasti mengenai moral dan moralitas. Ironisnya, tidak adanya garis pembatas dan pemisah antara moral dan moralitas dengan ilmu, dalam banyak hal justru disengaja oleh pihak-pihak yang berposisi sebagai pengendali, pelaksana maupun pengontrol pengamalan ilmu di dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)