Marjinalisasi yang dialami suku Dayak di Kalimantan Barat, bahkan semenjak masa penjajahan Belanda, membuat mereka memiliki ikatan emosional sesama etnis yang tinggi. Perlakuan yang berbeda dalam aspek pembangunan, pendidikan, serta kesehatan membangkitkan semangat putra Dayak untuk memperjuangkan hak-hak dengan cara berkonsolidasi memilih tokoh Dayak demi kesejahteraan masyarakat mereka.
Demikian dikatakan Dr. Sri Astuti Buchari, M.Si, penulis buku Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas, saat peluncuran dan bedah bukunya di Perpustakaan UGM, Kamis (8/5) hasil kerjasama dengan Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM serta Yayasan Pustaka Obor Indonesia selaku penerbit.
Menurut Sri Astuti, etnis Dayak adalah etnis yang pendiam, halus, dan cenderung introvert. Mereka menjadi masyarakat inferior karena dianggap sebagai kuli, pemalas, dan tidak produktif. Karenanya, mereka cenderung termarjinalkan dan didiskriminasi. Hal ini membuat mereka tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak.
“Meski demikian, ikatan emosional di antara mereka semakin erat dan kuat. Ikatan komunal Dayak yang erat dibuktikan dengan munculnya identitas kelompok dimana Dayak mengasosiasikan diri dengan agama Kristiani. Apabila anggota kelompok mereka memeluk agama Islam, dia tidak lagi dianggap sebagai bagian dari etnis Dayak. Politik identitas muncul sebagai cara bagi masyarakat Dayak untuk mencapai kesejahteraan,” ujarnya.
Sri Astuti mengungkapkan, politik identitas mengacu pada tindakan politik yang mengedepankan kesamaan identitas atau karakteristik yang berbasis pada ras, etnis, jender, atau agama. Dalam kasus ini, masyarakat Dayak berkonsolidasi untuk memilih dan memenangkan tokoh Dayak guna memimpin sebagai gubernur pada Pilkada Gubernur Kalimantan Barat tahun 2007.
Baginya, politik identitas penting dilakukan di tempat tertentu dalam konteks memperjuangkan hak dan kesejahteraan masyarakat, asalkan mereka tidak menjadi etnosentrisme. Adanya demokrasi dan desentralisasi di era reformasi membuka kesempatan bagi tokoh Dayak, karena orang lokal-lah yang memahami kebutuhan masyarakatnya sendiri.
Buku Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas merupakan hasil disertasi Doktor Sri Astuti bidang Ilmu Politik di Universitas Padjajaran. Penelitian dilakukan di 5 kabupaten di Kalimantan Barat, yakni Kabupaten Landak, Bengkayang, Sintang, Sanggau, dan Sekadau. Mengupas buku setebal 224 halaman ini, peserta bedah buku diajak melihat realita identitas di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat.
“Semangat kebangkitan suku Dayak inilah yang melatarbelakangi saya menuliskan buku ini,” terang Sri Astuti.
Pada acara peluncuran buku, hadir Abdul Gaffar Karim, M.A (JPP FISIPOL UGM) sebagai pembedah dengan moderator Dr. Yanis Musdja.
Menurut Gaffar Karim, mengingat keragaman yang sangan majemuk, Indonesia menjadi bangsa yang memiliki masalah identitas sejak lama. Batas alamiah dari politik identitas adalah masalah kesejahteraan. Isu identitas tidak akan muncul apabila tidak ada marjinalisasi terhadap identitas tertentu.
“Ekspresi identitas dapat dilakukan selama mengedepankan equality dan tidak mengganggu ekspresi identitas yang lain. Jadi, bisa dikatakan bahwa buku ini sangat menarik karena mencoba menjelaskan problematika identitas di Indonesia,” katanya. (Humas UGM/ Agung)