![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/05/0905141399604750322725011.jpg)
Pakar Kebijakan Publik UGM, Dr. Agus Heruanto Hadna menyebutkan hukum maupun kebijakan di Indonesia seharusnya diperkuat untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan, eksploitasi, bahkan penelantaran terhadap anak. Sayangnya, hal itu belum sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah. Yang ada, sistem hukum maupun kebijakan di Indonesia belum bisa memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak kekerasan dan ekspolitasi.
“Penanganan kasus kekerasan anak belum serius dilakukan pemerintah. Belum ada koordinasi antarkementrian terkait, bahkan dengan lembaga-lembaga pemerhati di bidang perlindungan anak dan perempuan,” katanya, Kamis (8/5) dalam diskusi “Menilik Kebijakan dan Sistem Perlindungan Anak” di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.
Menurutnya kelemahan dalam sistem perlindungan anak terjadi karena kebijakan yang dibuat masih bersifat sektoral. Masing-masing lembaga memiliki kebijakan dan tidak berkesinambungan satu sama lain. Seperti diketahui belum lama muncul sejumlah kasus kekerasan pada anak baik secara fisik, seksual, maupun penelantaran. Sebut saja kasus paedofil yang baru saja terkuat di Sukabumi dan di JIS. Sebelumnya terjadi kasus kekerasan seksual, fisik, dan penelantaran yang menimpa sebagian besar anak di panti asuhan Samuel, Jakarta.
“Banyak kasus terungkap, ada yang terjadi di dalam rumah, sekolah, bahkan di ruang-ruang publik. Iqbal Saputra, Renggo Khadafi, maupun 100 nama anak-anak korban paedofil di Sukabumi mengingatkan kita lagi bahwa anak-anak belum terlindungi. Hak mereka sebagai anak tercerabut karenan kelalaian dan ketidakpedualian,” papar Hadna.
Sepanjang tahun 2013 Komnas Perlindungan Anak menerima 3.023 pengaduan kasus kekerasan anak. Jumlah tersebut mengalami peningkatan hingga 60 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 1.383 kasus. Dari jumlah tersebut 58 persen merupakan kasus kejahatan seksual pada anak.
Hadna meyakini berbagai praktik eksploitasi sistematis yang berakibat buruk bagi perkembangan anak bukan sesuatu yang baru. Namun, menurutnya hal tersebut telah lama terjadi, hanya saja kasusnya tidak terkuak ke permukaan.
Misalnya, dari hasil Studi PSKK UGM yang dimulai pada 2001 menunjukkan selama kurun waktu delapan tahun (1996-2004) terdapat 25 paedofil asal Amerika Serikat, Asutralia, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda yang beroperasi di Bali. Untuk memuluskan aksinya dan meminimalisir perlawanan, para paedofil membentuk jaringan yang terstruktur rapi dan tersembunyi. Bahkan dalam beberapa kasus melibatkan orang tua anak, warga desa, dan paedofil lain yang menjadi sekutunya.
“Dulu sebenarnya kasus kekerasan anak banyak terjadi. Bedanya kalau sekarang akses informasi yang lebih terbuka menjadikan isu menyebar lebih cepat dan luas. Jadi agak sulit jika dikatakan kekerasan pada anak meningkat. Sementara angka yang pasti menunjukkan kenaikan sampai sekarang belum pernah terungkap, padahal data itu sangat dibutuhkan untuk perencanaan kebijakan yang lebih tepat,” urai Kepala PSKK UGM ini.
Dalam pandangan Hadna, selama ini penerapan pola kebijakan di Indonesia masih saja berdasarkan pada pembuktian. Sehingga dalam kasus kekerasan pada anak seolah-olah harus ada yang menjadi korban terlebih dahulu sebelum menyusun aturan dan kebijakan yang mengatur hal itu. Dengan begitu, aspek-aspek pencegahan menjadi terabaikan dalam penyusunan peraturan dan kebijakan perlindungan anak.
Pendidikan Seks Bagi Anak
Pendidikan seks menjadi hal yang sangat penting diberikan kepada anak untuk mencegah berbagai tindak kekerasan yang mungkin terjadi. Menurutnya anak-anak butuh diajarkan bagaimana cara menghargai tubuhnya sendiri maupun menghormati orang lain.
“Pendidikan seks bagi anak penting dilakukan. Namun hal ini terasa sulit dilakukan karena dalam sistem pendidikan kita lebih memprioritaskan pendidikan budi pekerti dan agama dalam kurikulum pengajaran. Sementara pendidikan seks masih dikesampingkan, bahkan terkesan tidak dibutuhkan,” jelasnya menyayangkan.
Hadna menyebutkan pemerintah seyogianya tidak mengabaikan untuk tidak memasukan pendidikan seks bagi anak dalam kurikulum pengajaran. Hal tersebut bisa dilakukan dengan memformulasikan metode pendidikan seks yang tepat, sesuai dengan tahap perkembangan usia anak, dan tidak melanggar norma masyarakat maupun agama.
“Pemerintah harus mencari model atau metode yang cocok,” terangnya.
Dalam menyikapi berbagai kasus kekerasan anak, lanjut Hadna, pemerintah seharunya mengambil sikap tegas. Bukan hanya sekadar menjadi pemantau kasus saja. Sikap ini justru tidak efektif dalam mengungkap persoalan kekerasan anak.
“Demikian halnya dalam hal kebijakan, bukan saatnya membuat kebijakan yang tambal sulam, tidak berdasar pada indentifikasi persoalan sesungguhnya,” tegasnya. (Humas UGM/Ika)