Fakultas Pertanian UGM bersama PT. PLN (Persero) melakukan serangkaian kegiatan pengembangan pertanian konservasi produktif di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Kegiatan ini selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus untuk menekan sedimentasi Waduk Mrica. Beberapa lokasi yang menjadi daerah binaan antara lain Desa Babadan dan Desa Plumbungan, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara.
“Untuk Desa Babadan kita kembangkan komoditas kopi, sedangkan Desa Plumbungan dengan salak,” papar ketua tim dari Fakultas Pertanian, Dr. Ir. Taryono, M.Sc, Rabu (21/5).
Ia mengatakan kunjungan lapangan serta panen perdana dua komoditas tersebut telah dilakukan pada Sabtu (17/5) yang dihadiri oleh Dr. Rudi Hari Murti, M.P., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Fakultas Pertanian; dan Dr. Ir. Alim Isnansetyo, M.Sc. Sedangkan tim yang terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain Dr.Ir. Taryono, M.Sc., Ir. Supriyanta, M.P., Ir. Suci Handayani, M.P., dan Dr. Suryanti, M.P.
Taryono menjelaskan kondisi lingkungan di daerah Banjarnegara bagian atas berdekatan dengan Batur, Dieng dinilainya cukup membahayakan karena banyak ditanami kentang. Keadaan tanah dengan kemiringan yang cukup curam dengan kondisi tanpa tumbuhan penahan erosi serta kondisi tanah yang mudah erosi akibat proses penanaman kentang menimbulkan ancaman tersendiri bagi penduduk sekitar dan para pemakai jalan di sana.
“Tanaman kentang ini berbahaya sehingga perlu ditanami tanaman penahan erosi seperti kopi dan salak,” imbuhnya.
Turno, salah satu petani di Desa Babadan mengakui masyarakat telah banyak beralih dari menanam sayur-sayuran ke kopi. Banyak keuntungan yang diperoleh warga dengan menanam kopi. Selain harga jualnya yang relatif bagus, mereka juga masih bisa menanam tanaman albasia (seperti sengon) dan kaliandra (untuk pakan ternak). Saat ini warga tengah memikirkan pemasaran dan distribusi hasil kopi tersebut.
“Kan bisa dengan tumpangsari dengan tanaman alba dan kaliandra sehingga masyarakat lebih banyak diuntungkan,” kata Turno.
Sedangkan untuk merawat kopi jenis Arabica yang ditanam di sana menurut Turno relatif mudah. Saat ini setidaknya terdapat 70 petani yang menggarap 15 hektar lahan kopi di sana.
Tanaman Salak
Selain kopi, salak juga menjadi salah satu komoditas unggulan yang ditawarkan kepada petani di Banjarnegara untuk menekan sedimentasi waduk Mrica. Tanaman salak dikembangkan di Desa Plumbungan. Menurut Ir. Suci Handayani, M.P., awalnya UGM bersama PLN membantu penyediaan bibit dan pendampingan terhadap petani di sana. Bibit salak berasal dari jenis salak pondoh Sleman.
“Mungkin saat ini sudah ada 30 hektar lahan salak di Plumbungan,” kata Suci.
Untuk mengembangkan salak di daerah tersebut awalnya tidak mudah. Sebelumnya bahkan ada penolakan dari warga desa yang tidak jauh dari Plumbungan. Namun, dengan melihat hasil dan perkembangannya yang menjanjikan akhirnya mereka pun tertarik untuk mengembangkannya.
Kepala Desa Plumbungan, Jukri Sadiharjo mengatakan sejak dikembangkan akhir 2010 masyarakat sudah mulai merasakan manfaat dari pengembangan tanaman salak tersebut. Mereka pun sudah mulai bisa memanen dua kali dalam satu minggu.
“Dulu kalau padi mungkin setahun hanya bisa panen dua kali. Makanya kita semangat untuk mengembangkan salak. Apalagi sekarang sudah ada pengepul salak di sini yang mengkordinir hasil panen,” kata Jukri.
Sementara itu Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Fakultas Pertanian, Dr. Rudi Hari Murti berharap pengembangan kopi dan salak di Banjarnegara bisa ditingkatkan. Ia memberikan apresiasi terhadap semangat warga yang telah mengembangkan dua komoditas itu di wilayahnya.
“Prinsipnya adalah warga akan semakin sejahtera dan lingkungan tetap terjaga dengan baik,” pesan Rudi. (Humas UGM/Satria)