
Indonesia saat ini dikenal sebagai negara paling demokratis di Asia Tenggara. Kondisinya jauh berbeda dibandingkan ketika Orde Baru. Namun, yang jarang dipikirkan adalah wujud demokrasi yang dianut saat ini apakah memang sudah sesuai dengan nilai-nilai dan hasil sejarah perjuangan bangsa Indonesia sendiri atau belum.
“Itu hasil perjuangan sejarah panjang masyarakat Barat. Harusnya kita perlu melihat dari hasil perjuangan sejarah bangsa sendiri,” tegas sosiolog dari Murdoch University, Prof. Vedi R. Hadiz saat menjadi pembicara kunci pada Konferensi Nasional Sosiologi III dengan tema "Transformasi Demokrasi Indonesia Menuju Perubahan yang Bermakna" di FISIPOL UGM, Rabu (21/5).
Vedi melihat munculnya kevakuman ketika terjadi transisi demokrasi di tahun 1998 menyebabkan kekuatan lama di jaman Orde Baru kemudian mentransformasikan diri ke dalam institusi-institusi demokrasi. Mereka pun kemudian beranggapan bahwa otoritarianisme tidak diperlukan. Melalui institusi-institusi demokrasi mereka masuk, seperti melalui parpol, pemilu hingga pers.
“Hal ini membuka peluang dan suasana lebih cair. Pers lebih bebas jika dibandingkan dengan Australia. Partai politik pun tak lagi terpusat di Cendana,” katanya.
Regenerasi politik semacam ini, kata Vedi, tereplikasi hingga tingkat lokal di daerah. Regenerasi politik melalui institusi demokrasi yang sebenarnya masih dilakukan oleh orang-orang lama. Perubahan teknis seputar demokrasi ternyata tidak menjamin sepenuhnya perubahan politik sehingga diperlukan solusi alternatif untuk mengubah tradisi regenerasi politik agar lebih bermakna.
“Harus ada counter hegemony. Kampus sebenarnya punya peran meskipun dengan basis sosial rendah. Masyarakat yang dimarjinalkan ketika sistem otoriter maupun demokrasi berkuasa sebaiknya tetap dirangkul,” tambah Vedi.
Sementara itu ketua panitia konferensi, Arie Sujito menjelaskan tujuan acara tersebut yaitu mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat untuk menata sistem politik nasional dalam rangka transformasi demokrasi menuju perubahan yang bermakna.
“Konferensi tidak hanya membahas persoalan demokrasi seperti pendangkalan politik, tetapi juga mendorong transformasi demokrasi dengan memberikan pemahaman bahwa rakyat harus menjadi subjek politik, termasuk menentukan kepemimpinan nasional,” tutur Arie. (Humas UGM/Satria)