Yogya, KU
Sejarawan UGM, Prof Dr Suhartono menegaskan saat ini sudah mulai ada tanda-tanda pemerintah pusat melupakan jasa-jasa Yogyakarta dalam perjuangan kemerdekaan. Paling tidak untuk konteks saat ini bisa dilihat dengan semakin kabur dan tidak jelasnya nasib RUU Keistimewaan DIY sebagai payung hukum pergantian kekuasaan terutama jabatan posisi Gubernur maupun Sultan.
“Adanya tarik ulur yang tak berkesudahan ini kalau secara akademik kita lihat sudah ada tanda-tanda pemerintah yang ada di Jakarta melupakan jasa-jasa dan keistimewaan Yogyakarta,†ungkap Suhartono di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM, dalam acara sosialisasi rencana pagelaran wayang kulit ‘Pandhawa Boyong’ dengan dalang Ki Radya harsna, Kamis (27/12).
Lebih lanjut Suhartono mengatakan posisi Yogyakarta, Sultan HB IX, RI, serta Soekarno sama sekali tidak bisa dilepaskan. Apalagi tahun 1946-1949 ibukota RI berada di Yogyakarta . Pada saat itu pula Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan secara politis dan memiliki posisi strategis dalam perjuangan dan pertahanan kemerdekaan.
“Kenapa dulu dipilih Yogyakarta bukan daerah lain karena waktu itu Sultan memiliki pandangan jauh ke depan dan selalu konsekuen dengan apa yang selalu dikatakannya,â€imbuh Suhartono.
Dalam pandangan sejarawan UGM ini, posisi Yogyakarta dengan keistimewaaannya jika berlatar belakang sejarah seharusnya tidak bisa dipisahkan dan dihilangkan. Keistimewaan itu diantaranya posisi Sultan sebagai Raja Keraton serta Paku Alam sebagai Adipati Pakualam sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wagub.
“Sultan memiliki posisi kuat. Selain sebagai raja Kraton, kepala daerah serta coordinator kerajaan-kerajaan di Indonesia ,†tegasnya.
Namun ketika didesak apakah dengan latar belakang itu saat ini memungkinkan ibukota Indonesia secara politik dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta, Suhartono menilai akan membutuhkan kesiapan banyak infrastruktur pendukung. Dan itu secara ekonomi membutuhkan biaya banyak. Sementara mengenai wacana Sultan dicalonkan menjadi Presiden menurutnya juga masih terbuka dan memungkinkan.
“Kalau pindah ibukota memang butuh biaya banyak sekali. Dan untuk Sultan menjadi Presiden itu politis. Tapi bisa saja asal tidak dicalonkan hanya oleh parpol gurem saja toh,†kelakar Suhartono.
Sementara itu, ketua panitia penyelenggara pertunjukan wayang kulit Prof Dr dr Sutaryo SPA mengungkapkan pagelaran wayang kulit ‘Pandhawa Boyong’ rencananya akan dilaksanakan pada hari Sabtu malam (29/12) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM.
“Sebelum pementasan wayang, akan diawali dengan orasi budaya ‘Sultan Hamengkubuwono IX dan Ibukota RI Yogyakarta’ yang disampaikan oleh Prof Suhartono, bersamaan dengan itu akan ditayangkan rekaman jejak beliau melalui slide yang diambil dari 300 foto yang berhasil terdokumentasi,†tegasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)